Mohon tunggu...
Alfiansyah_senja
Alfiansyah_senja Mohon Tunggu... Buruh - Penulis artikel, foto, dan traveling

Lahir dan besar di kota Balikpapan. "Setiap Malam adalah Sepi" adalah novel perdana yang berhasil dicetak lewat proyek indiependent. Novel ini bercerita tentang kehidupan urban seorang pekerja yang bekerja di malam hari di Kota Balikpapan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nafas Syair Islam Parrawana Towaine

23 Juni 2021   22:09 Diperbarui: 23 Juni 2021   22:30 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

OLEH : ALFIANSYAH*

Sehabis menyantap hidangan malam yang disediakan oleh tuan rumah, ibu-ibu yang datang menenteng rebana itu saling melirik, berbisik-bisik dengan bahasa dialek Mandar. Mereka membuka tas, mencari sesuatu dan mengambil lipa' saqbe (sarung sutera Mandar).  Mereka berdiri, melilitkan sarung itu pada bagian atas pinggul. 

Salah satu pemain rebana, Nurbaeti (44),  meminta tolong ke Hasbi, pendamping pemain rebana agar mengambil peralatan yang berada di sudut itu. Hasbi memberikannya satu per satu ke ibu-ibu. Beberapa ada yang Hasbi setem. Salah satu ibu-ibu memeriksa tas, mengambil buku tulis pelajar bergambar super hero. Dia buka lembaran buku itu di lembaran pertama. Mereka berdiskusi kecil, menunjuk-nunjuk buku itu. Setelah sepakat, mereka menggebuk rebana.

Masuk di beberapa nada, mereka bernyanyi, dengan lirik yang penuh dengan puji-pujian terhadap Allah SWT.

Tabuhan rebana memecah aktivitas manusia yang esok akan menjadi saksi pernikahan dua insan. Anak-anak yang berisik diam, ibu-ibu yang merumpi di dapur hening sejenak, dan orang tua yang menonton, selain diam, kadang mereka merenung, sesekali menundukkan kepala, menangkap arti dari lirik yang dinyanyikan kelompok penabuh rebana di Dusun Pesapoang Timur, Desa Adolang, Kecamatan Pamboang, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, 26 Desember 2020 lalu.

Seketika itu juga---walau saya hanya melihat dan mendengarkan tabuhan rebana dan nyanyiannya di You Tube dan belum pernah bertemu beliau secara langsung---saya mengingat sang maestro Almarhumah Mak Cammana, penabuh rebana dari Polewali Mandar, sekaligus ibunda angkat budayawan Emha Ainun Nadjib di Mandar, yang telah mangkat 7 September 2020 lalu.

Parrawana towaine. Itulah sebutan bagi para perempuan penggebuk rebana. Di Mandar, kesenian tradisional ini umumnya dimainkan oleh laki-laki di berbagai acara adat, seperti mengiring pengantin laki-laki, menyambut tamu, dan pengiring sayyang pattu'du (sayyang patu'du adalah kuda yang menari, syukuran pada acara khatam Al Quran). Kesenian tradisonal ini muncul setelah agama Islam masuk di tanah Mandar.

Tempo dan nada yang dihasilkan dari ketukan parrawana towaine berbeda dengan yang dimainkan oleh laki-laki. Jika laki-laki memainkannya dengan penuh heroik, energik, proaktif, berkeringat, dan percaya diri, lewat tangan parrawana towaine yang saat itu tampil di acara hajatan pernikahan kakak saya, ketukannya lebih halus, statis, dan antara nada dan musik, suara yang dihasilkan seimbang. Hal ini berkaitan dengan lirik yang dibawakan oleh parrawana towaine, selain puji-pujian terhadap Allah SWT, juga mengandung kisah-kisah religi (petuah) agama, syiar Islam, dan nasehat petuah keagamaan.

Hasbi mengatakan, parrawana towaine ini, semua pemainnya adalah ibu-ibu dari Dusun Rawang dan masih masuk dalam wilayah Desa Adolang.  "Saya mesti dampingi ini semua ibu-ibu. Karena kadang kasihan juga, jauh malam kita pulang. Makanya kami dampingi. Apalagi, rumah kami jauh dari jalan poros Mamuju-Majene," ceritanya.  Jalan poros Mamuju-Majene sekitar 7 km dari desanya. Jalanan menuju ke Dusun Rawang bisa memakai kendaraan roda empat. Namun belum ada penerangan jalan dan beberapa jalannya bermedan rusak berbatu.

Saya kira, parrawana towaine hanya ada di daerah Polewali Mandar. Hanya almarhumah Mak Amma Cammana yang selalu konsisten melatih dan mendidik perempuanMandar agar tidak melupakan kesenian daerah. Apalagi, syair-syair yang dinyanyikan bernafaskan shalawat, yang diiringi lewat tabuhan rebana. Ternyata, walau berbeda guru (tidak dilatih sang maestro Cammana), nafas Cammana ada di Desa Adolang.

Juhaera (50) bercerita, parrawana towaine ini tidak memiliki nama grup, karena seluruh pemainnya dari Dusun Rawang. Dan yang bermain rebana di acara hajatan, masih diisi oleh generasi pertama, yang artinya, perempuan yang pertama kali belajar dan bermain rebana di Dusun Rawang. Juhaera dan Nurbaeti adalah generasi pertama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun