Tapi semua masih belum terlambat. Bukankah kita masih hidup? Dan hidup memang hanya menunda kekalahan dan benar-benar menyerah.
Udara Jakarta memang berbeda dengan Balikpapan. Di sini terasa gerah. Bahkan sampai saya tak bisa membedakan mana kabut dan mana polusi. Bintang sudah tenggelam. Semua turun, seperti kerlap-kerlip malam, di mana bumi ini justru memciptakan beribu bintang, dari lampu penerangan, ruko, dan gedung-gedung bertingkat. Menyala di setiap sudut-sudut jalan.Â
Sebelum menutup tulisan ini, tiba-tiba saya ingat puisi penyair sufi Umbu Landu Paranggi, yang menulis tentang Jakarta, pada puisinya yang berjudul "Apa Ada Angin di Jakarta". Angin segar memang jarang kita temui, namun begitulah hidup. Kadang remang, fantasi, gairah, hasrat, bijak, pesimis, vokal, pasrah, atau sifat-sifat alamiah manusia---walau nyatanya seperti itu, toh tetap harus dijalani.
TAMAT
Balikpapan, 1 Mei 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H