Mohon tunggu...
Alfiansyah Syah
Alfiansyah Syah Mohon Tunggu... Warga Negara Indonesia -

Penikmat Senja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Satu Malam, di Jakarta (Tamat)

1 Mei 2018   22:44 Diperbarui: 2 Mei 2018   12:32 1083
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BERBAGAI HAL TENTANG MONAS, JAKARTA DAN BALIKPAPAN  

Kami duduk di luar Monas. Benar kata katanya bahwa Monas telah ditutup, tetapi di luar Monas masih ramai. Dari luar saya perhatikan ujung Monas. Melamun sedikit, setelah itu berbicara sedikit dengan teman saya. Masih banyak orang kongko-kongko atau sekedar duduk-duduk, main hape, makan cemilan, rokoan atau sekedar berbicara sedikit sambil melamun, tertawa atau diam-diam mendengarkan pengamen menyanyi.  

Kami berbicara tentang Kota Balikpapan dan perkembangannya, dewasa ini. Balikpapan itu menurut saya pribadi adalah kota yang tidak statis atau dinamis. Balikpapan itu normal, dalam segi pola pikir masyarakatnya, perekonomian, pembangunan dan hal-hal lainnya---kecuali pembangunan mal yang tak penting itu.

Jika kota terlalu dinamis akan ada desentralisasi. Serta jika kota statis, maka siap-siap saja akan tertinggal oleh perkembangan zaman. Namun kita tak tahu itu berjalan sampai kapan. 

Selama ini yang saya tahu dan bahkan merasakannya, Balikpapan itu selalu menerapkan dua hal sebagai kontrol sosial agar masyarakatnya tak banyak menuntut ini-itu atau mencoba hal-hal yang sedikit demi sedikit ada perubahan yang dilakukan oleh warga sipil. Taruhlah seperti demo-demo turun ke jalan, seperti yang dilakukan di Jakarta. 

"Zona aman dan zona nyaman. Tak ingin mengusik dan diusik. Selama itu tak merugikan saya dan Anda. Ya, selama ini baik-baik saja. Baik-baik saja belum tentu semuanya lancar dan orang Balikpapan tak bergerak jika ada hal yang tak beres. Contohnya, bisa dillihat kemarin ketika Teluk Balikpapan tercemar. 

Masih ada jiwa sosialnya untuk melakukan aksi-aksi sosial. Atau menuntut Pertamina agar bertanggung jawab. Pokoknya yang seperti itu. Aksinya pun dilakukan dengan aksi nyata. Kerja kolektif membersihkan pesisir Teluk Balikpapan. Tak melulu hari libur itu dihabiskan nonton teve, baring-baring main hape, jalan ke mal, atau kongko-kongko sama teman. Masih ada orang-orang yang seperti itu di Balikpapan," kata saya.

Tapi kami tak banyak bicara lagi. Begitu pun dengan saya yang lebih banyak bertanya, menjadi diam sambil melihat suasana malam di luar Monas.  

Dalam lamumannya, tiba-tiba ia membuka percakapan lagi.

"Jakarta itu angkuh!"

"Tapi tak ada yang mengalahkan keangkuhan hati perempuan," canda saya. Kami pun tertawa.

Ia cerita, kalau lagi ngumpul di Monas, suasana sepi, ia kadang duduk melamun menghadap istana. Membayangkan hal-hal yang hanya dia saja yang ketahui atau membayangkan hal-hal yang baik-baik, bagaimana orang jahat mesti disentil atau orang jahat sudah insaf. 

Tapi Jakarta memang begitu angkuh. Ia mencontohkan masih banyak ketimpangan sosial yang terjadi. Pembangunan yang tidak merata, serta gedung-gedung bertingkat yang sangat angkuh tanpa memperhatikan sekitarnya.

Em, mungkin ia sudah bosan tinggal di Jakarta. Tapi mendengarnya bercerita, sepertinya ia tak bosan dan bahkan ia bangga dengan segala macam petualang menjadi aktivis lingkungan. 

Tapi apa bedanya dengan pembangunan di Balikpapan yang juga dibangun gedung bertingkat dan mal-mal yang lagi-lagi menurut saya tak penting itu. Sama halnya  dengan kampus. Semua direnovasi dan dibangun sana-sini. Banyak omong dan pamer bahwa kampus ini yang dulunya hanya tak seberapa, sudah sangat modern dan maju, serta pamer bahwa kampus itu adalah basic para intelektual, cendekiawan dan pemimpin dicetak. Kata-kata itu terpampang di sebuah papan iklan pinggir jalan atau di brosur pembagian. Seakan-akan kampus adalah ranah yang sangat komersil.

Intinya, semua bisa saja membangun  gedung-gedung baru selama esensinya adalah atas nama kemanusiaan dan tak melumpuhkan etos manusia yang tinggal di bangunan itu. Tak egois dan tak melulu ujung-ujungnya karena kejar proyek. Harus bisa memahami hati sekelilingnya karena, rumah tanpa jiwa pasti tak akan hidup. 

Saya sarankan agar ia main-main lagi ke Balikpapan di mana ia akan merasakan lagi kesejukan Jalan Minyak, ngopi di Pelabuhan Semayang,makan salome di Melawai, sekedar jalan-jalan di pesisir pantai, atau melihat hutan Kalimantan di Bukit Bangkirai.

Kami bertukar cerita terkait permasalahan apapun, mulai dari pengalaman pribadi, filosofi hidup, atau kejadian disekeliling. 

Saya mengajak untuk makan. Kami makan mie ayam. Saya beritahu bahwa di Balikpapan ada mie ayam yang rasanya enak, murah dan porsinya banyak, yaitu di belakang Kantor BRI Klandasan. Ia tahu juga tempat itu. 

Habis satu mangkuk, merokok sebatang, kami putuskan untuk jalan kaki di trotoar luar Monas. Kami lagi-lagi lebih banyak diam. Tahun 2017 lalu, saya juga pernah jalan kaki dinluar Monas. Saya kelilingi itu. Namun, untuk malam itu rasanya tak bisa lantaran berhubung sudah malam dan esok harus bangun pagi. Di seperempat jalan dan di kerumunan manusia, kami memesan bemo. 

Bemo adalah kendaraan roda tiga berwarna biru, bahan bakar gas, serta hanya muat untuk 3 penumpang di belakang.

Ia menawar dengan logat Jakarta. Setelah terjadi tawar-menawar, biaya ke apartemennya 50 ribu rupiah. Harganya tak jauh berbeda dengan jasa taksi daring. 

Kami menaiki bemo. Suaranya bising, sopirnya kadang rem-rem mendadak, nyalip sana-sini, serta kadang saya dibuat kaget karena kursinya goyang-goyang ke depan. Tapi tetap asyik dan saya benar-benar menikmati suasana malam di Jakarta dan apalagi malam itu tak terlalu macet. Udara malam mengibas-ngibas rambut, serta yang dilihat adalah kerlap-kerlip gedung bertingkat, gedung-gedung apartemen, hotel, kantor, kementrian, birokrasi, atau gedung-gedung lainnya yang kata kawan saya itu adalah gedung yang angkuh. Lewat di depan Taman Ismail Marzuki. Masih banyak orang nongkrong dan penjual kaki lima. 

Terlebih dulu saya mengantar kawan saya ini ke apartemennya. Saya sangat berterima kasih sekali karena mau menemani saya menikmat malam di Jakarta. Saya katakan, jika main-main ke Balikpapan, jangan lupa beri kabar. 

Setelah itu, giliran saya kembali ke Hotel Grand Kemang menaiki bemo. Ia terus terang tak tahu di mana hotel itu. Kami ke sana berbekal google map. 

"Jangan terlalu main hape di dekat jendela, nanti ada jambret, Bang. Bahaya jauh malam begini," katanya, mengingatkan saya.

Saya mengajak ngobrol sopir.

Ia sudah 5 tahun menjadi sopir bemo. Harga gas bahan bakar 25 ribu. 25 ribu, itu sudah bisa narik penumpang keliling Jakarta. 

"Mutar-mutar kejar setoran Sampai capek, Bang."

Sampai hotel saya bayar 70 ribu. 

Sampai di kamar saya belum bisa tidur. Masih ada yang saya pikirkan, entah apakah itu. 

Terus terang, setiap kota yang pernah saya lewati, saya selalu merasakan bagaimana merasa terasing. Seperti tenggelam dalam bait puisi gombal, di mana kita merasa terasing dalam kerumunan malam, atau merasa sepi di tengah dinginnya malamnya malam. Ah, gombal sekali. Tapi begitulah hidup.  Dalam "Derai-Derai Cemara", Chairil Anwar  menulis, "hidup adalah menunda kekalahan". 

Chairil menuliskan puisi itu ketika merasa terasing. Mungkin Chairil mengingatkan kita agar lebih sadar. Kita lebih sering mempersiapkan diri dengan asuransi, rumah, mobil, berpakaian pantas, hidup layak, pendidikan, dan masih banyak lagi, yang berkaitan dengan keduniawian dan melupakan hal yang bersifat kerohanian. Kita lebih sering mengingat nama relasi bisnis dibandingkan menyebut nama Tuhan, lebih sering mengunjungi tempat hiburan ketimbang tempat ibadah, dan lebih sering meminta daripada memberi.

Tapi semua masih belum terlambat. Bukankah kita masih hidup? Dan hidup memang hanya menunda kekalahan dan benar-benar menyerah.

Udara Jakarta memang berbeda dengan Balikpapan. Di sini terasa gerah. Bahkan sampai saya tak bisa membedakan mana kabut dan mana polusi. Bintang sudah tenggelam. Semua turun, seperti kerlap-kerlip malam, di mana bumi ini justru memciptakan beribu bintang, dari lampu penerangan, ruko, dan gedung-gedung bertingkat. Menyala di setiap sudut-sudut jalan. 

Sebelum menutup tulisan ini, tiba-tiba saya ingat puisi penyair sufi Umbu Landu Paranggi, yang menulis tentang Jakarta, pada puisinya yang berjudul "Apa Ada Angin di Jakarta". Angin segar memang jarang kita temui, namun begitulah hidup. Kadang remang, fantasi, gairah, hasrat, bijak, pesimis, vokal, pasrah, atau sifat-sifat alamiah manusia---walau nyatanya seperti itu, toh tetap harus dijalani.

TAMAT

Balikpapan, 1 Mei 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun