Ia cerita, kalau lagi ngumpul di Monas, suasana sepi, ia kadang duduk melamun menghadap istana. Membayangkan hal-hal yang hanya dia saja yang ketahui atau membayangkan hal-hal yang baik-baik, bagaimana orang jahat mesti disentil atau orang jahat sudah insaf.Â
Tapi Jakarta memang begitu angkuh. Ia mencontohkan masih banyak ketimpangan sosial yang terjadi. Pembangunan yang tidak merata, serta gedung-gedung bertingkat yang sangat angkuh tanpa memperhatikan sekitarnya.
Em, mungkin ia sudah bosan tinggal di Jakarta. Tapi mendengarnya bercerita, sepertinya ia tak bosan dan bahkan ia bangga dengan segala macam petualang menjadi aktivis lingkungan.Â
Tapi apa bedanya dengan pembangunan di Balikpapan yang juga dibangun gedung bertingkat dan mal-mal yang lagi-lagi menurut saya tak penting itu. Sama halnya  dengan kampus. Semua direnovasi dan dibangun sana-sini. Banyak omong dan pamer bahwa kampus ini yang dulunya hanya tak seberapa, sudah sangat modern dan maju, serta pamer bahwa kampus itu adalah basic para intelektual, cendekiawan dan pemimpin dicetak. Kata-kata itu terpampang di sebuah papan iklan pinggir jalan atau di brosur pembagian. Seakan-akan kampus adalah ranah yang sangat komersil.
Intinya, semua bisa saja membangun  gedung-gedung baru selama esensinya adalah atas nama kemanusiaan dan tak melumpuhkan etos manusia yang tinggal di bangunan itu. Tak egois dan tak melulu ujung-ujungnya karena kejar proyek. Harus bisa memahami hati sekelilingnya karena, rumah tanpa jiwa pasti tak akan hidup.Â
Saya sarankan agar ia main-main lagi ke Balikpapan di mana ia akan merasakan lagi kesejukan Jalan Minyak, ngopi di Pelabuhan Semayang,makan salome di Melawai, sekedar jalan-jalan di pesisir pantai, atau melihat hutan Kalimantan di Bukit Bangkirai.
Kami bertukar cerita terkait permasalahan apapun, mulai dari pengalaman pribadi, filosofi hidup, atau kejadian disekeliling.Â
Saya mengajak untuk makan. Kami makan mie ayam. Saya beritahu bahwa di Balikpapan ada mie ayam yang rasanya enak, murah dan porsinya banyak, yaitu di belakang Kantor BRI Klandasan. Ia tahu juga tempat itu.Â
Habis satu mangkuk, merokok sebatang, kami putuskan untuk jalan kaki di trotoar luar Monas. Kami lagi-lagi lebih banyak diam. Tahun 2017 lalu, saya juga pernah jalan kaki dinluar Monas. Saya kelilingi itu. Namun, untuk malam itu rasanya tak bisa lantaran berhubung sudah malam dan esok harus bangun pagi. Di seperempat jalan dan di kerumunan manusia, kami memesan bemo.Â
Bemo adalah kendaraan roda tiga berwarna biru, bahan bakar gas, serta hanya muat untuk 3 penumpang di belakang.
Ia menawar dengan logat Jakarta. Setelah terjadi tawar-menawar, biaya ke apartemennya 50 ribu rupiah. Harganya tak jauh berbeda dengan jasa taksi daring.Â