Mohon tunggu...
Meirri Alfianto
Meirri Alfianto Mohon Tunggu... Insinyur - Seorang Ayah yang memaknai hidup adalah kesempatan untuk berbagi

Ajining diri dumunung aneng lathi (kualitas diri seseorang tercermin melalui ucapannya). Saya orang teknik yang cinta dengan dunia literasi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Pajak 0 Persen dan Potensi Meningkatnya Gagal Bayar

6 Oktober 2020   05:50 Diperbarui: 6 Oktober 2020   20:16 856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi penjualan mobil. Gambar: pixabay via pexels

Beberapa hari terakhir ini bos saya mulai melihat-lihat kembali spesifikasi mobil Xenia keluaran terbaru. Ia memang sudah mendambakan mengganti mobil Xenia-nya yang lama. 

Bukan kebetulan, ini karena ia membaca berita bahwa pajak mobil akan diturunkan hingga nol persen. Kalau tak mau mengatakan penghapusan pajak. Ia bahkan sudah mencuri start dengan menghubungi tenaga penjual mobil yang dikenalnya. 

Dengan penuh semangat ia mengabarkan kabar yang menurutnya baik ini lalu bertanya,"Mas, kalau kamu mau ambil mobil apa?". Saya bingung ditanya demikian karena saya belum berencana mengganti gerobak saya. Tak apalah, menurut kacamata kuda saya masih bagus kok.

"Wah belum dulu Pak. Uangnya lebih baik disimpan dulu. Nanti kalau ada kebutuhan mendadak repot saya." jawabku.

Inilah faktanya: kita sedang dalam krisis ekonomi akibat pandemi corona yang tak kunjung menurun. Kita hidup dalam zaman yang serba sulit dimana segala sesuatunya dapat mengalami perubahan sewaktu-waktu. Yang buruh pabrik bisa saja besok dirumahkan. 

Mereka yang pekerja hotel dan tempat hiburan lainnya masih harap-harap cemas akan nasibnya. Pun demikian halnya dengan para pengusaha. Pada intinya kita belum aman. Bila gaji anda sekarang masih berlimpah, belum tentu bulan depan masih diberkati dengan jumlah yang sama. 

Pemotongan gaji sudah lumrah terjadi. Dipotong 10-20 persen saja kita masih harus bersyukur karena banyak usaha yang hidup segan mati tak mau. Akhirnya nasib karyawan ikut terkatung-katung.

Kita semua perlu berjaga-jaga

Dengan latar belakang paragraf mukadimah di atas, sudah selayaknya kita semua berjaga-jaga. Tidak ada yang menjamin pekerjaan anda akan selamanya menjadi milik anda. 

Sama halnya dengan usaha yang mungkin sudah dirintis lama dan sudah mapan. Tidak ada jaminan bahwa usaha anda akan tetap berkibar. Ini bukan bermaksud mendoakan jelek.

Tentu saja kita selalu berpikir positif dan terus berikhtiar sambil berusaha. Kita berdoa mengharapkan yang terbaik. Tetapi pertahanan terbaik harus tetap disiapkan. Perlu perisai diri dan keluarga untuk menghadapi situasi yang tidak menentu. Covid-19, hari ini telah membuat lebih dari 11.000 orang kehilangan nyawa.

Puluhan ribu orang larut dalam ratap tangis karena kehilangan keluarga tercinta. Ia juga dengan garang telah mematikan sendi-sendi ekonomi dibeberapa bidang. Masih menunggu apa lagi untuk berjaga-jaga? Jelas kita perlu sebuah perencanaan keuangan yang matang. 

Mari sejenak saya ajak melihat kondisi riil di perusahaan tempat saya bekerja. Inilah dinamika yang terjadi dalam kurun waktu 7 bulan masa pandemi covid-19 hingga saat ini.

  1. Jumlah karyawan sudah dipangkas sekitar 40 persen atau sekitar 250 orang.
  2. Pengurangan shift sudah diberlakukan dari 2 shift sempat menjadi 1 shift. Beberapa bagian malah awalnya ada yang sampai 3 shift. Sekarang sudah menjadi 2 shift kembali namun dengan jumlah personel terbatas.
  3. Adanya pemotongan gaji sebagai dampak dari profit (keuntungan) yang menurun.
  4. Tidak ada lagi pengangkatan karyawan tetap.
  5. Untuk karyawan yang berstatus kontrak terpaksa hanya tinggal menunggu waktu karena kebijakan perpanjangan kontrak pun untuk sementara dibekukan. Mereka bersiap untuk pergi.

Fakta tersebut di atas tentu bukan hanya kami yang mengalami. Anda bisa cek sendiri berapa jumlah PHK sampai detik ini. Itu yang dilaporkan. Yang tidak dilaporkan lebih banyak. 

Kementerian Perindustrian memang telah mengajukan usulan relaksasi pajak mobil baru. Pajak diturunkan menjadi 0 persen atau sama dengan tanpa pajak. Bila ini disetujui oleh Kementerian Keuangan, harga mobil akan turun sangat signifikan sebagai dampak dari penghapusan pajak. 

Dengan kata lain, seolah-olah akan menjadi diskon flash sale di tengah pagebluk corona. Tentu saja mobil-mobil favorit keluarga sudah dibidik. Mobil-mobil MPV dan LCGC nampaknya akan menjadi target empuk serangan pelanggan. Khususnya bagi keluarga yang sudah mengidam-idamkan memiliki kendaraan roda empat sendiri. 

Tertarik? Nanti dulu. 

Coba dipertimbangkan lagi dengan masak. Dengan keuangan yang tidak menentu, sekalipun anda mungkin mampu membeli mobil secara cash akan menyedot pengeluaran yang amat besar walaupun harga mobil sudah turun drastis. Kalau anda tidak mampu membeli secara cash, lalu memaksakan diri untuk membeli secara kredit, ya cicilan itu akan memberatkan kondisi keuangan keluarga. 

Pikirkan juga resiko pendapatan yang mungkin tidak stabil ditengah kebutuhan yang semakin meningkat. Saya pikir pandemi ini sebenarnya membuat pengeluaran semakin tinggi, bukan semakin menurun. Tengok saja berapa kebutuhan untuk mencukupi asupan gizi dan vitamin. 

Belum kebutuhan untuk pembelian APD seperti masker, sarung tangan, penutup kepala. Lalu juga kebutuhan pembelian kuota akibat PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh). 

Pengalaman saya kebutuhan ini belum ditambah kebutuhan-kebutuhan tak terduga lainnya. Kemudian saya berpikir bahwa keluarga harus memegang uang cash ditangan. Ibarat musuh menyerang, kita tak punya benteng pertahanan apapun kalau tidak memiliki uang cash. 

Jangan sampai anda menyesal ketika sudah mengalami kebuntuan keuangan. Inilah mengapa kemudian saya katakan bahwa pajak mobil nol persen akan meningkatkan potensi gagal bayar. 

Gagal bayar atau wanprestasi merupakan suatu keadaan dimana seorang debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian utang piutang yang dibuatnya.

Maka kendatipun misalnya usulan relaksasi pajak disetujui, setidaknya mari pertimbangkan dulu beberapa hal berikut.

1. Apakah mobil merupakan suatu kebutuhan prioritas? Bila iya, apakah harus baru? Bagaimana bila membeli mobil bekas saja karena harga mobil bekas juga sudah mengalami penurunan tajam. Ingat, mobil bukanlah investasi.

2. Seberapa besar biaya pembelian mobil mempengaruhi kondisi keuangan kita? Bisa saja bagi yang memiliki tabungan berlebih. Mungkin pembelian ini hanya 10-20 persen saja mengurangi tabungan. Namun bagi yang menghabiskan lebih dari 50 persen tabungan atau bahkan harus mencicil, mari berhitung dengan bijaksana. Jangan sampai memberatkan kondisi finansial. Apalagi sampai jatuh dalam resiko gagal bayar.

3. Seberapa besar mobil akan memberikan manfaat bagi kita? Apakah keadaan menjadi lumpuh dengan ketiadaan mobil? Memiliki mobil akan membuat pengeluaran semakin membengkak. Kebutuhan untuk mobil tidak hanya sekedar isi bensin yang sudah pasti jauh lebih besar dibanding motor, tetapi juga ada biaya servis rutin dan servis tak terduga. Belum lagi biaya pajak tahunan yang meningkat setiap tahunnya.

Jadi kawan, jika aturan relaksasi pajak benar disahkan, tak perlu buru-buru termakan bujuk rayu sales bergincu menawarkan mobil murah kepadamu. Ada baiknya mengukur kemampuan pribadi. Jangan sampai cicilan mencekik leher hingga mengakibatkan gagal bayar. Cocokkan dengan skala prioritas utama lalu coba tengok apa yang sudah kita punya. Jangan-jangan kita kurang bersyukur...

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun