Mohon tunggu...
Meirri Alfianto
Meirri Alfianto Mohon Tunggu... Insinyur - Seorang Ayah yang memaknai hidup adalah kesempatan untuk berbagi

Ajining diri dumunung aneng lathi (kualitas diri seseorang tercermin melalui ucapannya). Saya orang teknik yang cinta dengan dunia literasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Orang Jawa Tidak Boleh Kawin dengan Orang Sunda?

4 Oktober 2020   09:32 Diperbarui: 4 Oktober 2020   09:35 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maharaja setuju. Pada hari yang ditentukan Ia bersama rombongan termasuk Dyah Pitaloka berangkat ke tanah Majapahit. Rombongan ini kemudian diterima dan ditempatkan di pesanggrahan Bubat.

Mengetahui hal ini, Gajah Mada selaku Mahapatih Majapahit tidak ingin kehilangan momentum. Timbul niat untuk membuat Kerajaan Sunda menjadi daerah taklukan Majapahit. 

Hal ini tertulis dalam Kitab Sundayana. Gajah Mada memang ingin menguasai nusantara seperti dalam Sumpah Palapa yang diucapkannya. Kerajaan Sunda ini memang belum takluk kepada Majapahit. 

Gajah Mada membuat suatu strategi dengan mengubah pernikahan menjadi simbol penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Kerajaan Majapahit. Sri Baduga Maharaja tentu tidak begitu saja menerima. Bahkan menolak mentah-mentah niatan Mahapatih Gajahmada. 

Akhirnya perang pun tidak terelakkan. Peristiwa peperangan ini dikenal dengan nama Perang Bubat. Dalam perang ini, Sri Baduga Maharaja dan rombongannya tewas. 

Dyah Pitaloka melakukan bela pati (bunuh diri) untuk menjaga kehormatannya. Seperti yang kita ketahui bersama dalam cerita sejarah, setelah perang Bubat hubungan antara Hayam Wuruk dan Gajah Mada menjadi renggang. Pangeran Niskalawatu Kancana, yakni adik dari Putri Dyah Pitaloka, naik takhta menggantikan ayahnya. 

Ia kemudian mengeluarkan larangan esti ti luaran (beristri dari luar) bagi kalangan kerabat Negeri Sunda. Peraturan itu diartikan sebagai larangan menikah dengan orang Jawa. Hal inilah mungkin yang diyakini secara turun-temurun oleh kakek nenek moyang baik dari kalangan suku Sunda maupun Jawa.

Tradisi atau keyakinan di suatu daerah memang tidak bisa dipisahkan dari peristiwa sejarah. Tradisi ini kemudian diyakini secara turun-temurun oleh anak cucu. 

Walaupun hanya sebuah cerita dan sudah tidak relevan dengan zaman moderen seperti sekarang, keyakinan ini tetap dipegang teguh oleh sebagian orang sebagai sebuah kebenaran. 

Kalau sudah ada embel-embel "kata orang tua dulu.." ini sudah sulit dibantah. Ilmu pengetahuan semaju dan sehebat apapun tidak akan menggoyahkan keyakinan seseorang. Seperti almarhum ibu saya dalam ilustrasi diawal. Tradisi mengalahkan logika.

Bagaimana dengan pengalaman anda? Apakah anda juga pernah menjumpai pengalaman serupa yakni ketika orang tua menginginkan anaknya menikah dari satu suku? Atau anda sendiri mungkin menjadi salah satu orang tua yang mendorong anak berlaku demikian?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun