"Bu, aku kenalkan sama Desi ya, orangnya baik, ramah dan cantik. Sepertinya cocok jadi istriku" kataku pada Ibu.
"Orang mana le?""sahut ibuku.
"Asli Bandung bu. Dia teman kerjaku."jawabku. Ibuku melengos, aku segera tahu bahwa ia tidak ingin tahu lebih banyak tentang Desi.
Lalu akupun kembali bertanya, "Kalau dengan orang Batak bagaimana bu?".
Jawab ibu, "Ya kalau bisa jangan le..". Oke, orang Sunda tak boleh. Orang Batak pun juga tak boleh.Â
"Bagaimana kalau aku menikah dengan si Kadek, cantik bu orangnya juga baik, jago masak. Ibu kan pengen punya mantu yang jago masak..". Lagi-lagi respon yang tidak kuharapkan muncul, "Bali-Solo jauh le, nanti kamu jarang pulang".
"Terus aku nikahnya sama siapa bu?"
"Ya cari yang dekat-dekat aja kan banyak tho le.. Ada Sundari, Tumini, Sungatmi. Apa tidak ada yang menarik buatmu?"
Cerita diatas hanyalah sebuah cerita ilusi yang saya pakai sebagai ilustrasi. Bukan cerita sebenarnya. Tetapi sejatinya cerita sesungguhnya mirip-mirip dengan cuplikan ilustrasi diatas.Â
Ya, orang tua saya keberatan bila anak-anaknya menikah dengan orang yang bukan keturunan Jawa. Makna "cari yang dekat" itu berarti bahwa saya diminta berpasangan dengan orang dari suku Jawa juga.Â
Mengapa demikian? Itu juga hal yang sejatinya saya pun susah menerangkan alasannya. Sebabnya tidak ada alasan pasti, hanya ada kekhawatiran bila anaknya menikah dengan orang dari suku lain.Â
Batak tak cocok, Dayak tak masuk dihati, Bali pun belum masuk hitungan. Apalagi Sunda. Kata almarhum ibu saya dulu jangan menikah dengan orang Sunda.Â
Sebab katanya wanita Sunda itu malas, hanya pintar berdandan. Selain itu takut pernikahan kami kelak tidak langgeng dan bahagia. Maaf bukan bermaksud rasialis. Ini hanya pengulangan apa yang dulu pernah dikatakan oleh almarhum Ibu pada anak-anaknya.Â
Pernyataan yang sejujurnya saya tak setuju karena beberapa kawan baik saya yang berasal dari tanah Sunda tidak seperti yang beliau katakan. Tetapi kalau orang tua sudah mengatakan demikian ya diterima saja.Â
Untung saja kemudian istri saya orang Jawa. Ini hanya kebetulan saja. Kebetulan Tuhan memasangkan saya dengan sesama orang Jawa. Karena prinsip saya pribadi dulu ketika masih lajang, saya tidak menetapkan kriteria pasangan hidup saya kelak harus sama-sama orang Jawa. Â
Ada semacam sentimen kedaerahan. Sekali lagi tulisan ini tidak bermaksud rasialis. Namun praktiknya ini terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat. Anda mungkin pernah mengalami hal semacam ini pada diri atau kerabat anda.Â
Orang tua menghendaki agar anaknya menikah dengan orang dari suku yang sama. Orang Batak menikah dengan orang Batak. Orang Dayak harus mempersunting sesama Dayak.Â
Orang Minang dalam perantauan pun harus mencari orang Minang juga sebagai pasangan hidupnya. Bukankah ini praktik yang jamak dijumpai?Â
#Latar Belakang Cerita Sejarah
Namun ada yang unik dibalik larangan kenapa orang Jawa tidak boleh menikah dengan orang Sunda. Ada sebuah kisah yang melatarbelakangi ini terjadi. Kisah ini berawal dari ketertarikan Raja termasyur dari Kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk kepada Putri Raja Pajajaran Dyah Pitaloka.Â
Raja Hayam Wuruk awalnya memang berniat memperistri Dyah Pitaloka untuk tujuan politik yakni menjalin hubungan yang erat dengan Kerajaan Sunda. Ia pun lalu mengirimkan surat kehormatan kepada Sri Baduga Maharaja untuk memperistri sang putri.Â
Maharaja setuju. Pada hari yang ditentukan Ia bersama rombongan termasuk Dyah Pitaloka berangkat ke tanah Majapahit. Rombongan ini kemudian diterima dan ditempatkan di pesanggrahan Bubat.
Mengetahui hal ini, Gajah Mada selaku Mahapatih Majapahit tidak ingin kehilangan momentum. Timbul niat untuk membuat Kerajaan Sunda menjadi daerah taklukan Majapahit.Â
Hal ini tertulis dalam Kitab Sundayana. Gajah Mada memang ingin menguasai nusantara seperti dalam Sumpah Palapa yang diucapkannya. Kerajaan Sunda ini memang belum takluk kepada Majapahit.Â
Gajah Mada membuat suatu strategi dengan mengubah pernikahan menjadi simbol penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Kerajaan Majapahit. Sri Baduga Maharaja tentu tidak begitu saja menerima. Bahkan menolak mentah-mentah niatan Mahapatih Gajahmada.Â
Akhirnya perang pun tidak terelakkan. Peristiwa peperangan ini dikenal dengan nama Perang Bubat. Dalam perang ini, Sri Baduga Maharaja dan rombongannya tewas.Â
Dyah Pitaloka melakukan bela pati (bunuh diri) untuk menjaga kehormatannya. Seperti yang kita ketahui bersama dalam cerita sejarah, setelah perang Bubat hubungan antara Hayam Wuruk dan Gajah Mada menjadi renggang. Pangeran Niskalawatu Kancana, yakni adik dari Putri Dyah Pitaloka, naik takhta menggantikan ayahnya.Â
Ia kemudian mengeluarkan larangan esti ti luaran (beristri dari luar) bagi kalangan kerabat Negeri Sunda. Peraturan itu diartikan sebagai larangan menikah dengan orang Jawa. Hal inilah mungkin yang diyakini secara turun-temurun oleh kakek nenek moyang baik dari kalangan suku Sunda maupun Jawa.
Tradisi atau keyakinan di suatu daerah memang tidak bisa dipisahkan dari peristiwa sejarah. Tradisi ini kemudian diyakini secara turun-temurun oleh anak cucu.Â
Walaupun hanya sebuah cerita dan sudah tidak relevan dengan zaman moderen seperti sekarang, keyakinan ini tetap dipegang teguh oleh sebagian orang sebagai sebuah kebenaran.Â
Kalau sudah ada embel-embel "kata orang tua dulu.." ini sudah sulit dibantah. Ilmu pengetahuan semaju dan sehebat apapun tidak akan menggoyahkan keyakinan seseorang. Seperti almarhum ibu saya dalam ilustrasi diawal. Tradisi mengalahkan logika.
Bagaimana dengan pengalaman anda? Apakah anda juga pernah menjumpai pengalaman serupa yakni ketika orang tua menginginkan anaknya menikah dari satu suku? Atau anda sendiri mungkin menjadi salah satu orang tua yang mendorong anak berlaku demikian?
Kalau pandangan saya pribadi tak peduli menikah dengan orang dari suku manapun. Yang penting senantiasa bahagia dan diberkati.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H