Maharaja setuju. Pada hari yang ditentukan Ia bersama rombongan termasuk Dyah Pitaloka berangkat ke tanah Majapahit. Rombongan ini kemudian diterima dan ditempatkan di pesanggrahan Bubat.
Mengetahui hal ini, Gajah Mada selaku Mahapatih Majapahit tidak ingin kehilangan momentum. Timbul niat untuk membuat Kerajaan Sunda menjadi daerah taklukan Majapahit.Â
Hal ini tertulis dalam Kitab Sundayana. Gajah Mada memang ingin menguasai nusantara seperti dalam Sumpah Palapa yang diucapkannya. Kerajaan Sunda ini memang belum takluk kepada Majapahit.Â
Gajah Mada membuat suatu strategi dengan mengubah pernikahan menjadi simbol penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Kerajaan Majapahit. Sri Baduga Maharaja tentu tidak begitu saja menerima. Bahkan menolak mentah-mentah niatan Mahapatih Gajahmada.Â
Akhirnya perang pun tidak terelakkan. Peristiwa peperangan ini dikenal dengan nama Perang Bubat. Dalam perang ini, Sri Baduga Maharaja dan rombongannya tewas.Â
Dyah Pitaloka melakukan bela pati (bunuh diri) untuk menjaga kehormatannya. Seperti yang kita ketahui bersama dalam cerita sejarah, setelah perang Bubat hubungan antara Hayam Wuruk dan Gajah Mada menjadi renggang. Pangeran Niskalawatu Kancana, yakni adik dari Putri Dyah Pitaloka, naik takhta menggantikan ayahnya.Â
Ia kemudian mengeluarkan larangan esti ti luaran (beristri dari luar) bagi kalangan kerabat Negeri Sunda. Peraturan itu diartikan sebagai larangan menikah dengan orang Jawa. Hal inilah mungkin yang diyakini secara turun-temurun oleh kakek nenek moyang baik dari kalangan suku Sunda maupun Jawa.
Tradisi atau keyakinan di suatu daerah memang tidak bisa dipisahkan dari peristiwa sejarah. Tradisi ini kemudian diyakini secara turun-temurun oleh anak cucu.Â
Walaupun hanya sebuah cerita dan sudah tidak relevan dengan zaman moderen seperti sekarang, keyakinan ini tetap dipegang teguh oleh sebagian orang sebagai sebuah kebenaran.Â
Kalau sudah ada embel-embel "kata orang tua dulu.." ini sudah sulit dibantah. Ilmu pengetahuan semaju dan sehebat apapun tidak akan menggoyahkan keyakinan seseorang. Seperti almarhum ibu saya dalam ilustrasi diawal. Tradisi mengalahkan logika.
Bagaimana dengan pengalaman anda? Apakah anda juga pernah menjumpai pengalaman serupa yakni ketika orang tua menginginkan anaknya menikah dari satu suku? Atau anda sendiri mungkin menjadi salah satu orang tua yang mendorong anak berlaku demikian?