Mohon tunggu...
Alfian Alghifari
Alfian Alghifari Mohon Tunggu... Jurnalis - Environment/Volunter/Pemuda Desa

Perkenalkan Nama saya Alfian Alghifari, bisa dipanggil ian, asal Sulawesi Barat, Polewali Mandar. Saya suka nulis, editing video, ikut kegiatan Volunter atau pengabdian masyarakat, serta suka mendakwahkan Islam Washatia kepada masyarakat yang butuh pencerahan seputar keislaman.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dilema, Taat tapi Sakit Atau Membangkang tapi Bahagia!

10 Agustus 2022   09:02 Diperbarui: 10 Agustus 2022   09:13 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi itu Ara baru bangun dari tidurnya, belum juga menyatukan jiwa dan raga, tiba-tiba ia dihampiri oleh ibunya.

"Nak, bagaimana dengan bang Satt, " Tanya ibu kandung yang telah mendidiknya sejak kecil.

"Ibu, apa tidak ada pembahasan lain yang lebih urgen daripada bertanya tentang bang Satt, "keluh Ara.

Saat itu arah sudah dewasa, berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang berlaku, ia telah matang jiwa raganya untuk menjadi manusia level dua. Atas dasar itulah ibunya kemudian mempertanyakan kesiapannya. Walau dengan pertanyaan samar.

Meski pertanyaan ibunya tidak jelas, tapi Ara sudah paham arah pembahasan ini kemana. Dengan muka sedikit cemberut, Ara meninggalkan ibunya menuju kamar mandi untuk siap-siap pergi ke satu tempat dimana ia bisa merenung dan berdialog dengan dirinya sendiri.

Ara sangat jarang keluar rumah dan tidak punya banyak teman. Sebab itulah ia tidak punya referensi tempat merenung dan teman yang bisa ia tempati konsul mengenai tempat merenung.

Tapi sebagai Gen Z, Ara tidak kehabisan akal. Ia punya Android Oppo A3s keluaran lama dan paket data 454 MB sisa dorprize peserta terbaik dalam acara seminar online untuk berselancar/Googling di dunia internet.

Dengan sangat antusias, ia mulai mengetikkan papan keyboard di layar Androidnya. "tempat yang paling baik untuk merenung di kampung adat Toledor" Tulis Ara di papan keyboardnya.

Tapi sayang jaringannya jelek. Maklum, kampung adat Toledor memang jauh dari perkotaan.

Ara tidak punya pilihan lain, daripada ia stress menunggu loading Google, ditambah stress karena pertanyaan dari ibunya, Ara putuskan untuk mencari otodidak.

Setelah membersihkan diri dan sarapan yang cukup, Ara kemudian pergi dari rumahnya. Sebagai anak yang santun, tidak lupa ia izin ke ibunya agar ibunya tahu Ara hendak pergi kemana.

"Ibu, aku pergi. " sembari menutup pintu rumah, Ara izin kepada ibunya.

"Nak, mau kemana, " tanya ibunya, penasaran.

"Jalan-jalan ibu, bosan di rumah, sudah sebulan sejak terakhir ibu memberikan saya izin untuk jalan jalan" protes santun Ara pada ibunya. Ara memang sangat jarang keluar rumah, bukan karena ia tidak mau, tapi ibunya yang melarangnya. Ibunya sangat paham bagaimana kultur adat yang ada di kampungnya.

Kampung adat Toledor punya adat yang kental. Anak yang sudah dianggap dewasa dan belum  bertemu dengan jodoh dianggap cupu. Bahkan paling parah, anak itu sampai dianggap aib bagi keluarga dan tetangga-tetangganya. Itulah salah satu penyebab mengapa ibunya punya ambisi yang besar untuk menjodohkan Ara dan bang Satt. Agar Ara tidak dikucilkan di kampungnya dan agar tetangga-tetangganya tidak memandang ara sebagai aib kampung.

Mendengar keluhan dari Ara, empati Ibunya muncul. Ia akhirnya memberi izin pada anaknya, tapi syarat dan ketentuan tetap berlaku.

"Nak, kalau memang itu maumu, silahkan. Tapi jangan jauh-jauh dan jangan lama. " ibunya memberi saran.

"Laksanakan ibu" jawab Ara, tegas.

Dengan sepeda buntutnya, ia mulai menggoes. Mencari tempat hening, adem, dan sejuk untuk melampiaskan seluruh tekanan dari ibunya.

Kurang lebih 10 menit menggoes, ia meliat tempat sepi. Pinggiran sungai yang hanya ada dia dan beberapa rumah singgah milik penambak ikan.

"Kayaknya tempat itu cocok untuk berdialog dengan diri sendiri. " Ara melihat tempat yang menurutnya pas lalu beranjak menuju ke tempat itu.

Tidak berfikir panjang, Ara pun duduk di pinggiran sungai, ditemani angin sepoi-sepoi, dan matahari yang tertutup awan, ia memulai melampiaskan keluhan-keluhannya.

"ARKKKKK....umurku sudah 19 Tahun, aku ingin melanjutkan pendidikanku ke jenjang yang lebih tinggi, tapi ibuku malah ingin menikahkanku dengan Bang Satt, laki-laki yang belum pernah aku kenal sebelumnya" keluh Ara dalam hati.

Ara sangat paham bagaimana rasanya menjadi seorang anak yang dituntut untuk patuh terhadap ibu kandung yang melahirkannya. Ia paham nasehat agama yang menjelaskan hargai ibumu, karena ibulah yang disebut Nabi sebanyak tiga kali. Selain itu, ia juga paham bahwa Ibunya lah yang menafkahinya sejak dulu sampai sekarang. Maka tidak ada lagi alasan bagi Ara untuk menolak kemauan Ibunya itu.

Ara dilema. Disatu sisi ia tidak sepakat dengan ibunya, di satu sisi ia dituntut untuk patuh dengan ibunya. Apa yang anda akan lakukan bila berada di posisi Ara?

"Apa yang bisa menjamin, aku akan bahagia dengan Bang Satt? Apakah dengan ilmuku yang sekarang, aku bisa mengurusi anak yang kelak akan lahir dari rahimku? Apakah dengan status sosial bang Satt saat ini sebagai pengangguran, ia dapat membimbingku menjadi lebih baik? Ia dapat menafkahiku dan juga anakku kelak? "seluruh pertanyaan itu Ara tanyakan dalam hati. Meski pertanyaan itu ia harapkan jawabannya, tapi ia tidak mendapat jawaban apapun. Ara bingung.

Sejenak ia menutup mata, ia baru sadar ternyata ia punya ilmu merenung dari salah satu buku kesayangannya. Ara pun mulai mengaplikasikan ilmu tersebut.

Metode gedankenexperimen atau Experimen fikiran sebagai hipotesis untuk menguji. Sederhananya, ilmu ini Ara gunakan untuk menerawang bagaimana kondisi keluarganya bila ia menjadi Istri sah dari bang Satt.

"Fokus....fokus...fokus..." Ara sedang fokus berimajinasi.

Dalam fikiran Ara , ia membayangkan telah menikah selama setahun lebih. Ia tinggal di rumah yang sangat sederhana, kadang dalam sehari, ia cuma bisa makan nasi dengan lauk ala kadarnya. Tidak ada uang simpanan, karena penghasilan dalam sahari hanya cukup untuk makan di hari itu juga. Jika suaminya bang Satt tidak bekerja, maka dipastikan tidak ada yang bisa Ara santap.

Kadang Ara mendapat serangan fisik dari bang Satt, bila tidak mau diajak berhubungan sex. Dalam fikiran Ara, bang Satt terindikasi mengidap Hyper Sex.

Paling parah, demi mendapat penghasilan, tidak segan bang Satt merelakan istrinya untuk disewakan kepada laki-laki lain.

"Arkkkkk, " Ara teriak kemudian membuka mata, ia tidak sanggup membayangkan kondisi tidak ideal seperti itu. Wajahnya berkeringat, mukanya pucat, badannya gemetar.

Walau kejadian ini hanya khayalan, Ara bisa melihat potensi kejadian ini benar-benar terjadi dalam hidupnya bila ia menikah dengan bang Satt. Ara sangat ketakutan.

Tidak sadar matahari mulai petang, Ara memutuskan untuk pulang kerumahnya dan berencana speak up kepada ibunya bahwa ia tidak ingin menikah dengan bang Satt.

Sepeda mulai Ara goes menuju ke rumah. dalam perjalanan, diatas sepeda, Ara mengulang-ulangi kata "tidak mau nikah dengan bang Satt...tidak mau nikah dengan bang Satt. "

Setibanya ia di rumah, perasaannya mulai tidak enak. "Sensasi macam apa ini? ". Ara bertanya-tanyaa.

Benar kata orang-orang, perasaan perempuan tidak pernah salah. Baru saja hendak membuka pintu, betapa terkejutnya Ara mendengar suara bang Satt dibalik pintu sedang asyik bercerita dengan ibunya. Ketika Ara membuka pintu rumahnya, petaka Ara benar-benar terjadi. Bang Satt dan keluarganya sudah siap untuk melamar Ara.

Ara menangis dalam hati, wajahnya pucat, detak jantungnya melambat, badannya mati rasa, tatapannya kosong. Seolah ia punya raga yang utuh tapi jiwanya sudah mati.

"O puang..." Ara menghela nafas.

Meski begitu, sebagai anak yang santun Ara tidak punya pilihan lain. Ia mencoba menyembunyikan rasa sedihnya dengan berusaha tersenyum dihadapan bang Satt dan keluarganya. Bayangkan betapa tegarnya Ara. Apakah anda juga  mampu bila dihadapkan dengan kondisi demikian?

"Eh...calon istriku sudah datang, " kata bang Satt dengan penuh senyum karena melihat calon istrinya yang juga tersenyum. Padahal bang Satt tidak tahu bahwa sebenarnya Ara sedang bersedih.

"Ibu mertua? kira-kira kapan aku bisa meminang anakmu yang cantik dan cerdas ini? " bang Satt bertanya dengan nada semangat yang menggebuh gebuh. Ia tidak sabar lagi menjalin hubungan dengan Ara, si wanita manis dari kampung adat Toledor.

"Secepatnya nak! " jawab ibu Ara, singkat.

Pada pertemuan itu, Ara hanya terdiam. Seolah telah mengamini bahwa kejadian ini adalah takdir yang sudah digariskan Tuhan dan ia harus sami'na wa'ato'naa (Tunduk dan patuh).

Bersambung..........

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun