"Arkkkkk, " Ara teriak kemudian membuka mata, ia tidak sanggup membayangkan kondisi tidak ideal seperti itu. Wajahnya berkeringat, mukanya pucat, badannya gemetar.
Walau kejadian ini hanya khayalan, Ara bisa melihat potensi kejadian ini benar-benar terjadi dalam hidupnya bila ia menikah dengan bang Satt. Ara sangat ketakutan.
Tidak sadar matahari mulai petang, Ara memutuskan untuk pulang kerumahnya dan berencana speak up kepada ibunya bahwa ia tidak ingin menikah dengan bang Satt.
Sepeda mulai Ara goes menuju ke rumah. dalam perjalanan, diatas sepeda, Ara mengulang-ulangi kata "tidak mau nikah dengan bang Satt...tidak mau nikah dengan bang Satt. "
Setibanya ia di rumah, perasaannya mulai tidak enak. "Sensasi macam apa ini? ". Ara bertanya-tanyaa.
Benar kata orang-orang, perasaan perempuan tidak pernah salah. Baru saja hendak membuka pintu, betapa terkejutnya Ara mendengar suara bang Satt dibalik pintu sedang asyik bercerita dengan ibunya. Ketika Ara membuka pintu rumahnya, petaka Ara benar-benar terjadi. Bang Satt dan keluarganya sudah siap untuk melamar Ara.
Ara menangis dalam hati, wajahnya pucat, detak jantungnya melambat, badannya mati rasa, tatapannya kosong. Seolah ia punya raga yang utuh tapi jiwanya sudah mati.
"O puang..." Ara menghela nafas.
Meski begitu, sebagai anak yang santun Ara tidak punya pilihan lain. Ia mencoba menyembunyikan rasa sedihnya dengan berusaha tersenyum dihadapan bang Satt dan keluarganya. Bayangkan betapa tegarnya Ara. Apakah anda juga  mampu bila dihadapkan dengan kondisi demikian?
"Eh...calon istriku sudah datang, " kata bang Satt dengan penuh senyum karena melihat calon istrinya yang juga tersenyum. Padahal bang Satt tidak tahu bahwa sebenarnya Ara sedang bersedih.
"Ibu mertua? kira-kira kapan aku bisa meminang anakmu yang cantik dan cerdas ini? " bang Satt bertanya dengan nada semangat yang menggebuh gebuh. Ia tidak sabar lagi menjalin hubungan dengan Ara, si wanita manis dari kampung adat Toledor.