Setelah membersihkan diri dan sarapan yang cukup, Ara kemudian pergi dari rumahnya. Sebagai anak yang santun, tidak lupa ia izin ke ibunya agar ibunya tahu Ara hendak pergi kemana.
"Ibu, aku pergi. " sembari menutup pintu rumah, Ara izin kepada ibunya.
"Nak, mau kemana, " tanya ibunya, penasaran.
"Jalan-jalan ibu, bosan di rumah, sudah sebulan sejak terakhir ibu memberikan saya izin untuk jalan jalan" protes santun Ara pada ibunya. Ara memang sangat jarang keluar rumah, bukan karena ia tidak mau, tapi ibunya yang melarangnya. Ibunya sangat paham bagaimana kultur adat yang ada di kampungnya.
Kampung adat Toledor punya adat yang kental. Anak yang sudah dianggap dewasa dan belum  bertemu dengan jodoh dianggap cupu. Bahkan paling parah, anak itu sampai dianggap aib bagi keluarga dan tetangga-tetangganya. Itulah salah satu penyebab mengapa ibunya punya ambisi yang besar untuk menjodohkan Ara dan bang Satt. Agar Ara tidak dikucilkan di kampungnya dan agar tetangga-tetangganya tidak memandang ara sebagai aib kampung.
Mendengar keluhan dari Ara, empati Ibunya muncul. Ia akhirnya memberi izin pada anaknya, tapi syarat dan ketentuan tetap berlaku.
"Nak, kalau memang itu maumu, silahkan. Tapi jangan jauh-jauh dan jangan lama. " ibunya memberi saran.
"Laksanakan ibu" jawab Ara, tegas.
Dengan sepeda buntutnya, ia mulai menggoes. Mencari tempat hening, adem, dan sejuk untuk melampiaskan seluruh tekanan dari ibunya.
Kurang lebih 10 menit menggoes, ia meliat tempat sepi. Pinggiran sungai yang hanya ada dia dan beberapa rumah singgah milik penambak ikan.
"Kayaknya tempat itu cocok untuk berdialog dengan diri sendiri. " Ara melihat tempat yang menurutnya pas lalu beranjak menuju ke tempat itu.