Mohon tunggu...
Alfiah ZulfaHumaimah
Alfiah ZulfaHumaimah Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

SMAN 28 JAKARTA KELAS XI MIPA 4 ABSEN 01

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anak yang Baik

1 Desember 2020   23:24 Diperbarui: 2 Desember 2020   07:01 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku ingat badan ku berhenti di tempat, hanya melihat tetesan merah menggenang di bawah ibuku ("Ibu!"). Aku jatuh berlutut. Aku tahu apa artinya. Aku selalu suka membaca novel, dalam genre apa pun, termasuk horor. Aku tahu apa artinya ini. Tapi aku tidak mau. Aku ingin ibu dan ayah ku untuk menyambut ku dengan senyum bangga mereka dan memeluk ku dalam pelukan yang hangat. Aku ingin memberi tahu mereka semua tentang hal-hal yang aku lakukan beberapa hari terakhir tanpa mereka. Aku ingin mendapatkan pujian ku karena menjadi anak yang baik.

Tapi itu tidak terjadi. Yang terjadi adalah seorang anak yang tidak bersalah, yang baik, hancur. Aku ingat perlahan-lahan dibawa ke rumah tetangga ku, orang-orang terus menyuruh ku untuk tetapt tenang. Tapi aku sudah tenang. Anak yang kuat tidak membiarkan emosi mengendalikan mereka. Anak pintar harus selalu menilai situasi dengan tenang, kemudian merencanakan tindakan selanjutnya. Anak baik selalu baik.

Aku tahu apa yang harus ku lakukan. Paman polisi terus menyuruhku menjadi anak yang baik, bilang bahwa aku harus tenang, tapi aku memang sudah tenang. Mengapa aku tenang? Kenapa ... aku melakukan ini? Mengapa aku tidak mendapatkan kebahagiaan ku? Mengapa ini terjadi pada ku? Aku bukan gadis nakal kan? Aku tahu aku bukan, aku selalu memenuhi harapan orang tua ku, harapan orang lain. Lalu kenapa ini bisa terjadi? Aku harus tenang, memikirkan situasi aku dengan tenang. Ayo, Mila, PIKIR.

Tapi aku tidak mau. Yang ingin aku lakukan adalah hanya berlari ke pelukan ibu ku dan menangis sampai perasaan tercekik ini hilang.

Tapi aku anak yang baik, aku seharusnya tidak meledak seperti itu, selain itu aku tidak bisa bertemu dengan ibu-

Betul. Aku tidak bisa lari ke pelukan ibu. Karena mereka sudah pergi. Mereka meninggalkan ku. Tidak, Seseorang mengambil mereka dari aku. Haruskah aku membalas dendam? Tapi ke siapa? Sudah 8 tahun dan polisi masih belum tahu siapa pelakunya.

Oh, sudah 8 tahun.

Aku tidak percaya ini sudah bertahun-tahun.

Aku melalui SD, SMP, dan SMA. Berusaha untuk bertahan, mengatakan pada diri sendiri bahwa aku bisa memperbaiki ini, aku masih bisa mendapatkan kebahagiaan ku.

Aku tidak terlalu ingat apa yang ku lakukan di SMA. Tapi mungkin aku harusnya ingat. Kalau tidak, mengapa orang itu mengunci aku di kamar mandi sekolah? Yang ada di gedung terbengkalai? Ponsel ku tidak ada di sini, aku taruh di kotak telepon, untuk berjaga-jaga agar aku tidak menyontek saat tes kuliah.
Aku tahu ada yang tidak beres ketika dia mengatakan bahwa dia meninggalkan laptop ku di toilet. Aku seharusnya tidak membiarkan dia meminjam laptopku. Mengapa aku begitu mudah tertipu?
Sekarang aku di sini, mengharapkan laptop yang tidak rusak dan masa depan cerah, juga harapan terakhir ku.

Tapi aku seharusnya tidak mengharapkan apapun. Dunia ini gila. Kenapa seseorang yang aku anggap sebagai sahabat melakukan ini padaku? (Cemburu? Benci?) Kenapa saudara ku sendiri bisa begitu kejam? Kenapa rentenir begitu tidak sabar? Mengapa mereka bahkan mengejarku? (Hutang bibi? Paman? Sepupu?) Mengapa aku tidak bisa dilahirkan di negara yang lebih aman? Mengapa aku bisa kehilangan kesempatan terakhir ku? Mengapa ini kesempatan terakhir ku?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun