Mohon tunggu...
Alfiah ZulfaHumaimah
Alfiah ZulfaHumaimah Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

SMAN 28 JAKARTA KELAS XI MIPA 4 ABSEN 01

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anak yang Baik

1 Desember 2020   23:24 Diperbarui: 2 Desember 2020   07:01 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku anak yang baik. Aku selalu mendengarkan orang tuaku, tidak berani melakukan sesuatu yang berkaitan dengan hal buruk, berusaha mendapatkan pujian dari semua orang, dan selalu mengerjakan PR ku. Aku anak yang baik, dan anak yang baik akan mendapatkan kebahagiaannya.

"Bu! Aku juara pertama lomba menggambar!"

"Anak baik. Kamu akan menjadi luar biasa saat dewasa nanti."

Aku tidak pernah berpikir untuk diselamatkan oleh pangeran yang menawan atau mungkin seorang kesatria pemberani! Aku ingin menjadi anak yang kuat yang bisa berdiri di samping pangeran gagahnya. Jadi aku belajar.

"Ayah! Bisakah aku di ajari guru privat? Aku ingin belajar untuk masa depanku!"

"Apa saja untuk anak kesayangan ku."

Berhasil. Pertama kali aku mendapat juara pertama adalah dalam lomba matematika di kelas empat, aku menyuruh sopir untuk segera pulang, "Aku harus memberi tahu Ibu dan Ayah!". Aku melompat keluar dari mobil, berteriak untuk ibu dan ayah ku. Sudah 5 hari sejak aku melihat mereka, kontesnya di kota lain.

"Apa kau yakin tidak ingin kita untuk pergi bersamamu? Kita bisa membatalkan business trip nya, Mila. Kau tahu kaulah yang paling penting bagi kami."

"Tidak! Aku bisa pergi ke sana sendiri! Selain itu, anak yang baik tidak akan merepotkan orang lain ..."

Aku ingat bagaimana aku keras kepala untuk pergi ke sana sendirian. Aku ingin membuktikan bahwa aku adalah anak yang kuat dan cerdas. Dan aku tahu bahwa pekerjaan itu penting bagi orang dewasa, jadi aku harus pengertian. Itulah yang dilakukan anak-anak baik.

Tapi betapa salahnya aku. Anak yang baik tidak selalu mendapatkan akhir yang bahagia. Siapa bilang ya?! Jika anak yang baik selalu mendapatkan akhir yang bahagia, MENGAPA SEMUANYA JADI SEPERTI INI?!

Aku ingat badan ku berhenti di tempat, hanya melihat tetesan merah menggenang di bawah ibuku ("Ibu!"). Aku jatuh berlutut. Aku tahu apa artinya. Aku selalu suka membaca novel, dalam genre apa pun, termasuk horor. Aku tahu apa artinya ini. Tapi aku tidak mau. Aku ingin ibu dan ayah ku untuk menyambut ku dengan senyum bangga mereka dan memeluk ku dalam pelukan yang hangat. Aku ingin memberi tahu mereka semua tentang hal-hal yang aku lakukan beberapa hari terakhir tanpa mereka. Aku ingin mendapatkan pujian ku karena menjadi anak yang baik.

Tapi itu tidak terjadi. Yang terjadi adalah seorang anak yang tidak bersalah, yang baik, hancur. Aku ingat perlahan-lahan dibawa ke rumah tetangga ku, orang-orang terus menyuruh ku untuk tetapt tenang. Tapi aku sudah tenang. Anak yang kuat tidak membiarkan emosi mengendalikan mereka. Anak pintar harus selalu menilai situasi dengan tenang, kemudian merencanakan tindakan selanjutnya. Anak baik selalu baik.

Aku tahu apa yang harus ku lakukan. Paman polisi terus menyuruhku menjadi anak yang baik, bilang bahwa aku harus tenang, tapi aku memang sudah tenang. Mengapa aku tenang? Kenapa ... aku melakukan ini? Mengapa aku tidak mendapatkan kebahagiaan ku? Mengapa ini terjadi pada ku? Aku bukan gadis nakal kan? Aku tahu aku bukan, aku selalu memenuhi harapan orang tua ku, harapan orang lain. Lalu kenapa ini bisa terjadi? Aku harus tenang, memikirkan situasi aku dengan tenang. Ayo, Mila, PIKIR.

Tapi aku tidak mau. Yang ingin aku lakukan adalah hanya berlari ke pelukan ibu ku dan menangis sampai perasaan tercekik ini hilang.

Tapi aku anak yang baik, aku seharusnya tidak meledak seperti itu, selain itu aku tidak bisa bertemu dengan ibu-

Betul. Aku tidak bisa lari ke pelukan ibu. Karena mereka sudah pergi. Mereka meninggalkan ku. Tidak, Seseorang mengambil mereka dari aku. Haruskah aku membalas dendam? Tapi ke siapa? Sudah 8 tahun dan polisi masih belum tahu siapa pelakunya.

Oh, sudah 8 tahun.

Aku tidak percaya ini sudah bertahun-tahun.

Aku melalui SD, SMP, dan SMA. Berusaha untuk bertahan, mengatakan pada diri sendiri bahwa aku bisa memperbaiki ini, aku masih bisa mendapatkan kebahagiaan ku.

Aku tidak terlalu ingat apa yang ku lakukan di SMA. Tapi mungkin aku harusnya ingat. Kalau tidak, mengapa orang itu mengunci aku di kamar mandi sekolah? Yang ada di gedung terbengkalai? Ponsel ku tidak ada di sini, aku taruh di kotak telepon, untuk berjaga-jaga agar aku tidak menyontek saat tes kuliah.
Aku tahu ada yang tidak beres ketika dia mengatakan bahwa dia meninggalkan laptop ku di toilet. Aku seharusnya tidak membiarkan dia meminjam laptopku. Mengapa aku begitu mudah tertipu?
Sekarang aku di sini, mengharapkan laptop yang tidak rusak dan masa depan cerah, juga harapan terakhir ku.

Tapi aku seharusnya tidak mengharapkan apapun. Dunia ini gila. Kenapa seseorang yang aku anggap sebagai sahabat melakukan ini padaku? (Cemburu? Benci?) Kenapa saudara ku sendiri bisa begitu kejam? Kenapa rentenir begitu tidak sabar? Mengapa mereka bahkan mengejarku? (Hutang bibi? Paman? Sepupu?) Mengapa aku tidak bisa dilahirkan di negara yang lebih aman? Mengapa aku bisa kehilangan kesempatan terakhir ku? Mengapa ini kesempatan terakhir ku?

Aku tidak ingin pulang ke rumah. Tidak ada orang disana. Para rentenir adalah satu-satunya yang menungguku. Tapi aku tidak ingin pergi dengan mereka. Aku tahu apa yang akan terjadi jika aku pergi bersama mereka.

Aku duduk di atas wastafel toilet. Melihat sinar matahari yang menyelinap melalui ventilasi udara, mendarat di tanaman yang pot nya rusak di lantai. Lihat, sinar matahari masih bisa jatuh pada kehidupan malang ini. Tapi aku rasa aku tidak seberuntung tanaman ini. Mungkin aku tidak pernah ditakdirkan untuk merasakan sinar matahari lagi.

Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku lakukan?! Haruskah aku tetap bertahan? Tetap berharap?

Aku tidak tahu lagi. Aku lelah. Aku akan tidur ... sebentar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun