Mohon tunggu...
Alfi Hudaybiah
Alfi Hudaybiah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa IAIN Jember

Prodi Ekonomi Syariah NIM E20182343

Selanjutnya

Tutup

Money

Suap-Menyuap, Tanda Lunturnya Etika

17 Maret 2019   11:51 Diperbarui: 17 Maret 2019   12:28 1156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semua orang tentunya berambisi untuk hidup dengan kemewahan, kerhormatan, dan jauh dari kata kesusahan serta penderitaan. Sebagian orang sudah bekerja dengan susah payah namun hasilnya tidak sesuai yang didapatkan.
       

Berangkat dari kenyataan ini, sebagian orang ingin merubah keadaan tersebut  secepat mungkin dengan usaha yang tidak begitu rumit atau bisa dikatakan dengan cara yang instan. Secara logika hal tersebut tidak mungkin. Sehingga kebanyakan orang terjerumus dalam perangkap setan dengan melakukan apapun agar apa yang diinginkan tercapai tanpa menyadari bahwa tindakan itu menyalahi etika ataupun merugikan orang lain. Salah satu diantaranya adalah praktik suap-menyuap.
        

Suap-menyuap sudah menjadi persoalan yang biasa dan tidak asing lagi di kalangan masyarakat Indonesia. Bahkan sudah membudaya dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini dikarenakan maraknya kasus suap-menyuap yang selama ini beredar.
        

Menurut catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), praktik suap-menyuap merupakan  kasus yang paling banyak terjadi di Indonesia. Sejak pertama berdiri tahun 2004, KPK sudah menindak 466 kasus suap-menyuap. Jumlah kasus suap-menyuap yang ditindak KPK cenderung meningkat jika dilihat dari periode lima tahun terakhir. 

Ada 20 kasus suap-menyuap pada tahun 2014, 38 kasus (2015), 79 kasus (2016), 93 kasus (2017), dan 70 kasus (2018). Tentunya kasus suap-menyuap yang ditangani KPK tergolong kasus yang besar sedangkan kasus suap-menyuap lain yang tergolong kasus kecil masih belum masuk hitungan (Kompas, 2019).
        

Praktik suap-menyuap sebenarnya peristiwa yang tertutup. Pihak pemberi dan perima suap saja yang mengetahui persisnya. Biasanya bukti yang tersisa pada kasus suap-menyuap sangat sedikit atau bahkan sudah tidak ada lagi. Sehingga praktik suap-menyuap hanya dapat diungkap dengan penggerebekan atau tangkap tangan. 

Praktik suap-menyuap juga dapat diungkap jika ada salah satu pihak yang melaporkannya atau jika awalnya sudah disadap oleh aparat hukum karena tercium akan adanya rencana suap-menyuap.
        

Praktik penyuapan diatur secara eksplisit pada KUHP dan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pindana Korupsi. Dalam kedua peraturan perundang-undangan tersebut, ancaman hukuman terhadap pemberi dan penerima suap cukup berat, baik dalam segi ancaman hukuman maupun terhadap penggantian kerugiannya (Suswinarno, 2012: 64).
        

Dalam agama islam juga dijelaskan bahwa dilarang menerima barang milik orang lain secara ilegal, yaitu dalam bentuk suap-menyuap. Shaukat Hayat mengutip surat al-Baqarah (2) ayat 188 sebagai berikut:

" Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui."
        

Ayat Al-Qur'an tersebut menjelaskan bahwa suap-menyuap dilarang keras dalam agama Islam, karena menerima suap khususnya dalam proses mengadili perkara adalah cara terburuk untuk merampas hak milik orang lain. Tidak ada keraguan bahwa hukum adalah penjaga hak orang, tetapi keseluruhannya tergantung kepada kejujuran dan keadilan hakim dalam menegakkannya.
        

Jika hakim dipengaruhi dengan cara diberi suap, maka secara tidak langsung sudah ada tindakan membeli hukum dari tangan hakim untuk mengambil hak orang lain (Mustofa, 2013: 183). Sehingga dalam kasus tersebut orang-orang akan kehilangan kepercayaan pada hukum dan juga pengadilan. Konsekuensinya, pengadilan yang merupakan tempat untuk menegakkan keadilan tidak akan berguna lagi. Akibatnya akan timbul penderitaan dalam masyarakat dan tidak adanya keadilan dalam kehidupan bermasyarakat.
        

Tentang suap-menyuap ini, Nabi Muhammad SAW telah menjelaskan bahwa Allah melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap. Beliau juga melarang umat Islam dengan tegas untuk tidak memberi atau menerima suap. Berkaitan dengan hal ini Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Dari Abi Hurairah RA, Ia berkata: Rasulullah SAW melaknat orang yang memberi suap (penyuap) dan yang menerima suap (disuap) dalam masalah hukum (HR. Ahmad dan Imam Empat)."
        

Dalam hadis tersebut sudah jelas dikatakan bahwa Rasulullah melaknat orang yang melakukan suap-menyuap baik dari pihak yang memberi maupun yang menerima suap lebih-lebih dalam masalah hukum. Artinya ditekankan adanya penegakan keadilan yang bersih dari praktik suap-menyuap.
        

Namun, suap-menyuap sudah memiliki andil besar dalam masalah penegakan keadilan. Pengaruh suap-menyuap dalam penegakan keadilan apabila dibiarkan sangat merusak, karena menimbulkan banyak kejahatan dalam masyarakat. Berkaitan dengan masalah suap-menyuap dalam kalangan hakim, Nabi Muhammad SAW menunjukkan rasa tidak sukanya terhadap praktik suap-menyuap dalam memutuskan suatu perkara. Nabi Muhammad SAW sendiri telah mengutuk orang yang memberi dan menerima suap dalam proses perkara di pengadilan.
        

Tidak ada keraguan bahwa keterlibatan seorang hakim dalam praktik suap-menyuap, khususnya dalam penegakan keadilan, adalah suatu tindakan yang dilarang. Pihak yang terlibat akan menderita tidak hanya di dunia namun juga di akhirat kelak. Lebih jauh lagi, hakim yang menerima suap dengan maksud meringankan pihak yang sudah memberi suap dan melakukan ketidakadilan terhadap pihak lain maka dianggap telah bertindak kufur (Manan, 2018: 278). Berkaitan dengan hal ini Nabi Muhammad SAW bersabda:

"Hakim yang memakan (harta yang diberikan padanya sebagai) hadiah (adalah seperti orang yang) memakan harta yang haram dan ketika menerima suap berati dia telah bertindak kufur."
        

Hadis tersebut menjelaskan bahwa yang melakukan ketidakadilan dengan menerima suap disebutkan telah melakukan kekufuran. Hal ini dikarenakan hakim tersebut setelah menerima suap akan bertindak sesuai perintah pihak yang telah memberi suap, tidak sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT.
        

Bentuk terburuk dari suap-menyuap adalah jika seorang hakim menerima suap ketika sedang mengadili suatu perkara, maka ia telah berkhianat kepada Allah SWT dan telah menggelapkan amanah yang telah diberikan kepadanya. Hakim tersebut akan sulit masuk surga sesuai dengan perkataan Nabi Muhammad SAW:

"Suap yang diterima oleh orang yang mengadili suatu perkara, maka akan menjadi halangan antara ia dan surga."
        

Para sahabat Nabi Muhammad SAW dan juga para khalifah pun telah menerangkan praktik suap-menyuap tersebut. Dalam surat yang ditujukan kepada hakim dan gubernurnya, Umar bin Khattab r.a. telah melarang keras mereka untuk menerima suap dengan kalimat berikut:
"Berhati-hatilah, jangan menerima suap dan jangan membuat putusan berdasarkan keinginanmu sendiri."
        

Praktik suap-menyuap akan menyebabkan orang-orang yang tertindas tidak akan tertolong, karena hak-hak mereka telah direnggut secara paksa oleh pihak yang melakukan suap dan menerima suap. Hal itu tentunya akan menimbulkan kekacauan dalam pertumbuhan hukum di masyarakat dan akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan sosial di masyarakat secara keseluruhan.
        

Lantas dimana etika masyarakat Indonesia terhadap sesamanya? Pertanyaan tersebut pastilah muncul karena dengan praktik suap-menyuap banyak pihak yang dirugikan sedangkan yang untung hanya pihak yang memberi dan menerima suap saja.
        

Hal ini menandakan bahwa ada kelunturan etika terhadap sesama manusia. Orang yang pada awalnya terkenal akan keramahan etikanya menjadi orang yang suka mengambil hak sesama.  
        

Hal ini karena kebanyakan orang sekarang menilai semua hal akan lebih mudah dengan hanya memberikan suap, jika tidak begitu maka akan dipersulit oleh orang yang berkuasa. Bagi pihak-pihak tertentu praktik suap-menyuap digunakan untuk mendapatkan apa yang sudah diinginkannya. Tanpa disadari penilaian orang terhadap praktik suap-menyuap itulah yang  menjadi akar permasalahannya.
        

Oleh karena itu, diperlukan usaha keras dalam mewujudkan apapun yang sudah diinginkan. Tentunya usaha yang dilakukan tidak dengan melanggar etika yang ada. Sehingga praktik suap-menyuap tidak akan merajalela. "Sadarlah penghuni bangsa. Benahi etika bersama. Suap-menyuap bukan pelancar segalanya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun