Mohon tunggu...
alfeus Jebabun
alfeus Jebabun Mohon Tunggu... Pengacara - Pengacara

Alfeus Jebabun, Advokat (Pengacara), memiliki keahlian dalam bidang Hukum Administrasi Negara. Alfeus bisa dihubungi melalui email alfeus.jebabun@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Petani Bijak dan Mengagungkan Pendidikan

9 April 2021   11:04 Diperbarui: 9 April 2021   11:15 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kompasianers yang Budiman, salam jumpa kembali. Saya sudah lama tidak mengisi kolom ini. Rupanya, ini baru tulisan kedua saya Tahun 2021 untuk kompasiana. Semoga kalian semua masih dalam keadaan yang sehat, walaupun pandemi belum juga minggat. Mari tetap produktif, tetap semangat berkarya. Badai corona pasti segera berlalu.

Turut berduka bagi saudara dan saudari korban bencana alam angin kencang, banjir bandang, dan tanah longsor di Nusa Tenggara Timur, khususnya di Sumba Barat, Sumba Timur, Ngada, Flores Timur, Lembata, Alor, Ende, Kupang, Rote Ndao, dan Malaka. Semoga korban yang meninggal mendapatkan kedamaian abadi di Surga, yang sakit segera sembuh.  

Saya juga mau mengucapkan selamat paskah bagi umat Kristiani. Semoga tahun ini, kita semakin sadar dan legawa menerima kenyataan pahit pandemi korona, belajar tabah serta berserah kepada Sang Ilahi. Selamat menyiapkan hati memasuki bulan suci Ramadhan bagi saudara dan saudari saya yang muslim.

Awal tahun ini, pada tulisan pertama, saya berbagi cerita tentang Paul. Dia pribadi yang sangat unik, rendah hati, pencinta damai. Saya bangga punya sosok ayah seperti Paul. Beliau dan istrinya, mama saya, merupakan sepasang suami istri yang sangat saya kagumi. Jujur, saya tidak pernah bosan menceritakan tentang mereka kepada siapa pun, termasuk kepada orang yang baru kenal. Sekarang, saya masih mau bercerita tentang Paul. Setelah cerita tentang Paul selesai, rencananya saya akan bercerita tentang mama, Vera.

O ya, seperti yang pernah saya tuliskan, kami memanggil ayah kami dengan menyebut namanya loh. Tidak ada embel ayah, papa, papi, pak, Dad, ema (Bahasa Manggarai-Flores). Kami memanggil atau menyapa dia: Paul atau Polus. Itu nama aslinya beliau. Bagi kebanyakan keluarga di Indonesia, mungkin panggilan seperti itu tidak sopan. Bagi kami, tidak! Itu tanda keakraban dan kedekatan. Egaliter. Justru Paul akan marah kalau kami memanggil dia dengan embel-embel tadi. Tetapi, sekarang beda, karena beliau sudah punya cucu. Kepada cucunya, temasuk cucu-cucu yang di Jakarta, kami mengajarkan mereka untuk memanggilnya dengan sapaan Ema (ayah) Paul. Bukan Opa.

Tulisan ini merupakan rekaan ulang sharing singkat saya kepada mantan pacar, ketika kami pertama kali bertemu di Senayan City. Kala itu, cuaca sore Jakarta sangat cerah. Kabut asap yang biasanya menutup langit, sirna terbawa angin. Warna birunya langit tampak jelas, dihiasi pendaran mentari yang sudah siap ditelan bumi. Kami duduk dekat dinding kaca, sehingga pendaran mentari itu menyinari wajah kami yang sedang kasmaran.

"Inuk, kamu mau mendengar cerita saya?" Tanya saya sambil memegang gelas kopi panas yang baru saya pesan.

"Boleh sayang. Cerita tentang apa?"

"Cerita tentang Paul, ayah saya."

"Wah, asiiik."

"Saya mau bercerita bagaimana Paul sangat mencintai pendidikan, menghargai anak-anak. Kalau tidak lelah nanti, saya juga mau membagi pengalaman dia membangun rumah tangga yang harmonis."

"Ok sayang, saya tidak sabar mendengar."

Terimakasih honey. Seperti yang pernah saya katakan, Paul tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi. Pendidikan terakhirnya kelas empat atau kelas lima SD. Setelahnya, dia menjadi petani tulen, yang bekerja banting tulang setiap hari untuk menghidupi keluarganya. Kami tujuh bersaudara. Dia pernah bercerita ke saya, kalau waktu dia muda, Paul pernah berikhtiar agar anak-anaknya tidak mengikuti jejak dia menjadi petani. Minimal tidak mengulangi nasibnya yang tidak tamat SD. Dia bernazar agar anak-anaknya bisa menikmati pendidikan. Bagi Paul, pendidikan adalah pintu menuju sukses, langkah awal menimba kebijaksanaan.

Paul sangat senang ketika anaknya yang sulung, calon kakak iparmu, diterima di Seminari Kisol, sebuah sekolah Katholik ternama di Nusa Tenggara Timur.

Pacar saya terlihat malu tersipu ketika mendengar kata calon kakak ipar. Wajahnya merona seketika. Saya pun tersenyum, sambil melanjutkan cerita.

"Seminari Kisol, salah satu sekolah unggulan di daerah kita, bukan?"

Wanita itu hanya merespon dengan mengangguk, tanda setuju.

Tidak semua orang bisa masuk ke sana. Hanya anak-anak yang memiliki kepintaran dan kecerdasan di atas rata-rata saja yang bisa lolos seleksi. Sekolah khusus bagi anak laki-laki. Paul merasa, Tuhan membuka gerbang pertama ikhtiarnya. Itu pula yang membuat tekatnya untuk mencari uang sekolah semakin membuncah.

Anak sulungnya belum tamat, anak kedua menyusul masuk SMP, tetapi bukan di Seminari Kisol. Dia masuk ke sekolah Katholik lainnya, sekolah berasrama yang kualitasnya tidak beda jauh dengan Seminari Kisol. Untuk masuk ke sana, harus seleksi juga. Bedanya, sekolah itu gabung dengan para siswi. Lucunya, anak kedua ini pergi mendaftar dan ikut seleksi tanpa sepengetahuan Paul. Dia hanya memberi tahu End (mama) kalau dia pergi mendaftarkan diri masuk SMP.

End was-was dan meminta anak keduanya memberi tahu terlebih dahulu ke Paul. End tahu betul kondisi keuangan keluarga. Sangat tidak mencukupi untuk membiayai sekolah dua orang. Jangankan untuk sekolah, untuk makan sehari-hari saja susah. Namun, kakak saya ini sedikit keras kepala juga waktu itu. Dia ikut gerombolan teman-teman angkatannya pergi mendaftar di SMP St. Klaus-Kuwu, Manggarai. Dia diterima. Paul hanya bisa tersenyum ketika mendengar anak nomor dua diterima masuk SMP. Dia tidak marah, tidak mengeluh, apalagi menghalangi niat anaknya.

Gerbang ikhtiarnya semakin terbuka lebar. Tantangan mulai berat. Banyak orang menyindir. Tidak sedikit yang meremehkan.

"Anak-anaknya pintar, tapi sayang, ayah mereka bukan pekerja keras," kata para tetangga kala itu.

"Ah, paling juga anak-anak itu akan berhenti sekolahnya karena tidak ada uang. Mana mampu ayah mereka membayar sekolah mahal itu." Demikian sindiran yang lain.

Apakah Paul marah? Tidak! Sindiran dan cibiran itu malah ditanggapinya dengan senyum. Dia tetap fokus pada ikhtiarnya. Beliau tetap bekerja membanting tulang semampunya. Paul bukan tipe orang yang ngotot mencari uang. Dia tahu kemampuannya, dan tidak pernah bekerja melampaui batas kemampuan fisiknya. Saat yang lain bekerja sangat keras, sampai korbankan waktu tidur siang, Paul malahan selalu meluangkan waktu untuk tidur siang.

Bahkan ketika di kebun pun, dia bisa tidur siang di bawah pohon kopi. Sudah tentu tanpa alas tikar apalagi kasur. Tidak dialas pakai dedaunan juga. Murni beralaskan tanah. Untuk urusan istirahat siang, beliau sangat disiplin. Setiap hari, tidak lebih dari tiga puluh menit. Saya tidak mengarang untuk melebih-lebihkan. Saya menyaksikan sendiri sejak kecil sampai tamat SMA. Bangun tidur, dia bekerja lagi tanpa istirahat sampai jam pulang rumah.

Saat banyak yang mencibir, tidak sedikit pula keuarga yang mendukung. Kakaknya yang laki-laki selalu mendukung dan membela. Saudarinya yang sulung, selalu memberi support dan pasang badan terhadap mereka yang mencela.

Saat panen kopi tiba, dia sangat telaten mengolah. Hasil jualan kopi langsung dipakai untuk membayar sekolah satu tahun. Begitu juga saat panen padi, beras untuk kebutuhan anak-anaknya langsung dia bawa dan sediakan untuk setahun. Ciri khas Paul, ketika dia pergi membayar uang sekolah, dia tidak pernah mau ketemu dengan anak-anaknya. Padahal, kadang kami rindu disapa dan dipeluk, karena lama tidak jumpa. O ya, anak-anaknya tinggal di asrama, dan baru bisa pulang libur ke rumah setiap enam bulan.

Saya tidak pernah mengerti alasannya, sebelum dia ceritakan beberapa bulan lalu. Dia bilang, dia tidak mau ketemu anak-anaknya di sekolah agar kami tidak terbebani. Kami tahu, Paul dan End memberi dan membiayai sekolah anak-anaknya bukan dari kelimpahannya, tetapi mereka memberi dari kekurangannya. Semua yang ada pada mereka, seluruh nafkahnya diserahkan ke anak-anaknya. Bagi saya, mereka betul-betul belajar dari kisah janda miskin yang diceritakan dalam Injil Markus (Mrk. 12:41-44).

Kami hanya dibekali nasihat setiap mau balik ke asrama setelah liburan. Biasanya, malam sebelum hari berangkat ke asrama, saya memilih tidur di kamar mereka. Menjelang tidur, End biasanya memberi nasihat begini: Nana, sekola di'a-di'a. Belajar. Lut toing de guru. Sekola de mu, to landing bora. Toe wajel bombang bora, maik wajel lngg (Anak, sekolah yang benar. Belajar dengan tekun. Ikuti apa yang gurumu ajarkan. Kalian sekolah bukan karena kami kaya, bukan untuk foya-foya, tetapi betul-betul karena miskin). Nasihat ini, setidaknya selalu saya dengar dan alami sendiri. Saya yakin kakak dan adik saya juga menerima nasihat yang sama.

Apa yang dialami dua anak pertamanya, dialami juga oleh anak-anaknya yang lain termasuk saya. Kami diperlakukan sama. Cara Paul membayar uang sekolah dan beras serta kebutuhan asrama, persis sama ketika dia membiayai kedua kakak saya.

Keunggulan lain dari seorang Paul adalah sangat menghargai anak-anaknya ketika kami sudah menginjak kelas satu SMP. Waktu SD, rotan dan lidi selalu menemani kami saat belajar. Kami diawasi. Setiap malam menghafal perkalian. Setelah makan malam, kami wajib belajar, dan dia memerankan diri sebagai guru. Dia menguji anak-anaknya perkalian matematika. Satu salah, satu hantaman rotan di pantat. Dua salah, berarti pantat akan kena hajar dua kali. Saat kami mengantuk waktu belajar, selalu ada rotan atau dua lidi yang akan menyegarkan mata, entah karena hantaman di kepala, atau lecutan di punggung. Dia tidak akan mengganggu atau meminta kami mencuci piring kalau sedang memegang buku.

Semua didikan keras itu sirna ketika kami duduk di kelas satu sekolah menengah pertama. Kami betul-betul dihargai, bahkan sediki ke arah dimanjakan. Paul melarang kami ke kebun, dan minta tinggal di rumah saja. Dia juga tidak meminta kami masak nasi. Paul tidak memarahi kami lagi, apalagi dipukul sejak kelas satu SMP. Malahan sebaliknya, dia meminta pendapat kalau ada hal perlu didiskusikan. Paul menganggap kami sudah dewasa dan sudah bisa mandiri.. Bagi Paul, ketika kami masuk SMP, kami sudah berada selangkah lebih maju di depan dia. Namun ada satu kebiasaannya yang tidak pernah sirna. Dia selalu meminta kami memperlihatkan raport.

Nilai raport saya waktu SMP sangat buruk, tapi Paul tidak marah. Paul, menurut saya, sangat mempercayai kami. Dia betul-betul memberi kepercayaan penuh kepada anak-anaknya. Dia selalu yakin, kami bertanggungjawab. Paul hanya mau menunaikan kewajibannya membiayai sekolah anak-anaknya, dan percaya, anak-anak tidak akan mengkhianati perjuangannya. Waktu SMP saya tidak terlalu menyadari apalai memahaminya. Saya baru merasa tanggungjawab setelah masuk SMA, dan itu saya buktikan dengan merubah perilaku, dari pribadi yang malas belajar waktu SMP, menjadi siswa yang cukup tekun di SMA. Saya pikir, kakak-kakak dan dua adik saya juga merasakan hal sama: tanggungjawab. Bukti minimalnya, sebagian terbesar dari kami bertujuh tidak drop out dari sekolah.

Kini, ikhtiar Paul terkabulkan. Enam dari tujuh anaknya menikmati pendidikan tinggi. Satu orang memilih tidak sekolah atas kemauan sendiri. Bagi kebanyakan orang, mungkin itu prestasi yang biasa saja. Tetapi bagi kami orang-orang kampung, bisa sekolah sampai jenjang strata satu itu merupakan sebuah keberhasilan. Prestasi luar biasa. Membanggakan, menamatkan sekolah melalui jalan yang benar, buah ketekunan. Kami bangga betul-betul sekolah, bukan untuk mengejar ijazah, tetapi betul-betul menimba ilmu.

Paul tidak tamat S1 apalagi S2 atau S3, tapi dia sangat paham jenjang pendidikan. Setelah saya tamat kuliah dan mulai mandiri secara ekonomi, dia pernah tanya: to lanjut S2 ko? (Tidak lanjut ke S2?). Pertanyaan itu selalu saya renungkan, yang pada akhirnya saya realisasikan.

Sekian dulu, ya. Sudah asam mulutku bicara sendiri dari tadi.

Pacar saya tersentak dan protes.

"Katanya mau cerita juga bagaimana Paul membangun rumah tangga yang harmonis."

"Nanti aja, bagaimana? Kan saya sudah bilang, kalau tidak Lelah," jawab saya sambil tertawa

"Ah, tidak adil. Saya penasaran!" protesnya

"Sudah ya sayang. Kan kita masih akan ketemu lagi."

"Oklah sayang. Nanti saya tagih janji ceritanya."

Tab

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun