"Saya mau bercerita bagaimana Paul sangat mencintai pendidikan, menghargai anak-anak. Kalau tidak lelah nanti, saya juga mau membagi pengalaman dia membangun rumah tangga yang harmonis."
"Ok sayang, saya tidak sabar mendengar."
Terimakasih honey. Seperti yang pernah saya katakan, Paul tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi. Pendidikan terakhirnya kelas empat atau kelas lima SD. Setelahnya, dia menjadi petani tulen, yang bekerja banting tulang setiap hari untuk menghidupi keluarganya. Kami tujuh bersaudara. Dia pernah bercerita ke saya, kalau waktu dia muda, Paul pernah berikhtiar agar anak-anaknya tidak mengikuti jejak dia menjadi petani. Minimal tidak mengulangi nasibnya yang tidak tamat SD. Dia bernazar agar anak-anaknya bisa menikmati pendidikan. Bagi Paul, pendidikan adalah pintu menuju sukses, langkah awal menimba kebijaksanaan.
Paul sangat senang ketika anaknya yang sulung, calon kakak iparmu, diterima di Seminari Kisol, sebuah sekolah Katholik ternama di Nusa Tenggara Timur.
Pacar saya terlihat malu tersipu ketika mendengar kata calon kakak ipar. Wajahnya merona seketika. Saya pun tersenyum, sambil melanjutkan cerita.
"Seminari Kisol, salah satu sekolah unggulan di daerah kita, bukan?"
Wanita itu hanya merespon dengan mengangguk, tanda setuju.
Tidak semua orang bisa masuk ke sana. Hanya anak-anak yang memiliki kepintaran dan kecerdasan di atas rata-rata saja yang bisa lolos seleksi. Sekolah khusus bagi anak laki-laki. Paul merasa, Tuhan membuka gerbang pertama ikhtiarnya. Itu pula yang membuat tekatnya untuk mencari uang sekolah semakin membuncah.
Anak sulungnya belum tamat, anak kedua menyusul masuk SMP, tetapi bukan di Seminari Kisol. Dia masuk ke sekolah Katholik lainnya, sekolah berasrama yang kualitasnya tidak beda jauh dengan Seminari Kisol. Untuk masuk ke sana, harus seleksi juga. Bedanya, sekolah itu gabung dengan para siswi. Lucunya, anak kedua ini pergi mendaftar dan ikut seleksi tanpa sepengetahuan Paul. Dia hanya memberi tahu End (mama) kalau dia pergi mendaftarkan diri masuk SMP.
End was-was dan meminta anak keduanya memberi tahu terlebih dahulu ke Paul. End tahu betul kondisi keuangan keluarga. Sangat tidak mencukupi untuk membiayai sekolah dua orang. Jangankan untuk sekolah, untuk makan sehari-hari saja susah. Namun, kakak saya ini sedikit keras kepala juga waktu itu. Dia ikut gerombolan teman-teman angkatannya pergi mendaftar di SMP St. Klaus-Kuwu, Manggarai. Dia diterima. Paul hanya bisa tersenyum ketika mendengar anak nomor dua diterima masuk SMP. Dia tidak marah, tidak mengeluh, apalagi menghalangi niat anaknya.
Gerbang ikhtiarnya semakin terbuka lebar. Tantangan mulai berat. Banyak orang menyindir. Tidak sedikit yang meremehkan.