Nilai raport saya waktu SMP sangat buruk, tapi Paul tidak marah. Paul, menurut saya, sangat mempercayai kami. Dia betul-betul memberi kepercayaan penuh kepada anak-anaknya. Dia selalu yakin, kami bertanggungjawab. Paul hanya mau menunaikan kewajibannya membiayai sekolah anak-anaknya, dan percaya, anak-anak tidak akan mengkhianati perjuangannya. Waktu SMP saya tidak terlalu menyadari apalai memahaminya. Saya baru merasa tanggungjawab setelah masuk SMA, dan itu saya buktikan dengan merubah perilaku, dari pribadi yang malas belajar waktu SMP, menjadi siswa yang cukup tekun di SMA. Saya pikir, kakak-kakak dan dua adik saya juga merasakan hal sama: tanggungjawab. Bukti minimalnya, sebagian terbesar dari kami bertujuh tidak drop out dari sekolah.
Kini, ikhtiar Paul terkabulkan. Enam dari tujuh anaknya menikmati pendidikan tinggi. Satu orang memilih tidak sekolah atas kemauan sendiri. Bagi kebanyakan orang, mungkin itu prestasi yang biasa saja. Tetapi bagi kami orang-orang kampung, bisa sekolah sampai jenjang strata satu itu merupakan sebuah keberhasilan. Prestasi luar biasa. Membanggakan, menamatkan sekolah melalui jalan yang benar, buah ketekunan. Kami bangga betul-betul sekolah, bukan untuk mengejar ijazah, tetapi betul-betul menimba ilmu.
Paul tidak tamat S1 apalagi S2 atau S3, tapi dia sangat paham jenjang pendidikan. Setelah saya tamat kuliah dan mulai mandiri secara ekonomi, dia pernah tanya: to lanjut S2 ko? (Tidak lanjut ke S2?). Pertanyaan itu selalu saya renungkan, yang pada akhirnya saya realisasikan.
Sekian dulu, ya. Sudah asam mulutku bicara sendiri dari tadi.
Pacar saya tersentak dan protes.
"Katanya mau cerita juga bagaimana Paul membangun rumah tangga yang harmonis."
"Nanti aja, bagaimana? Kan saya sudah bilang, kalau tidak Lelah," jawab saya sambil tertawa
"Ah, tidak adil. Saya penasaran!" protesnya
"Sudah ya sayang. Kan kita masih akan ketemu lagi."
"Oklah sayang. Nanti saya tagih janji ceritanya."
Tab