Mohon tunggu...
Alfarisma Melandika
Alfarisma Melandika Mohon Tunggu... Lainnya - Pecinta kopi, coklat, hujan, dan senja

Terus belajar dan tidak berhenti belajar karena hidup tidak pernah berhenti mengajarkan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Caraku Mencintaimu

13 Oktober 2022   11:16 Diperbarui: 13 Oktober 2022   11:20 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mila masih setia memandang hamparan laut luas di tepi pelabuhan. Tak bosan-bosannya matanya mengikuti ke mana arus gelombang berlari. Semilir angin pun ramah menyapanya. Mila memang sengaja pergi ke pelabuhan setelah pulang kerja. Tempat itulah yang selalu dituju oleh Mila saat dia sedang penat dan lelah dengan masalah-masalah yang dihadapinya. Dengan memandang laut, seolah-olah ia bisa berbagi beban dengan ombak, ia bisa bercerita kepada angin, dan dia bisa dihibur oleh burung-burung yang beterbangan dengan kicauan merdunya. Sudah sebulan ini Mila rajin mendatangi tempat itu. Ya, sejak Aris, laki-laki yang telah menikahinya dua tahun yang lalu menunjukkan perubahan sikap dan perilaku. Keharmonisan, kebersamaan, keterbukaan, dan kejujuran yang telah mereka bangun selama berumah tangga, bahkan sejak masa perkenalan, perlahan-lahan mulai terkikis.

Aris kini lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-temannya daripada bersama istri yang selalu setia mendampinginya dalam suka maupun duka. Perhatian yang dulu selalu dilimpahkan hanya pada istrinya pun kini perlahan-lahan mulai sirna. Tak ada lagi senyum bahagia dan canda tawa pada keluarga kecil mereka. Hubungan mereka semakin renggang dan hambar. Tak jarang pula pertikaian-pertikaian kecil karena masalah sepele menghiasi hari-hari mereka.

Malam itu Mila merasakan lelah yang teramat sangat, lelah fisik, pikiran, dan hati, karena banyak pekerjaan di kantor yang harus ia selesaikan selain permasalahan rumah tangganya yang semakin lama semakin pelik, hingga ia tidur lebih awal tanpa menunggu suaminya pulang. Akhir-akhir ini Aris memang sering pulang larut malam setelah menghabiskan waktu senggangnya bersama teman-temannya, entah itu main futsal, nonton bola bareng, mancing, atau hanya ngobrol sambil minum kopi. Tak ada lagi malam yang ia habiskan bersama Mila, istri yang telah ia nikahi dan ia boyong ke tanah rantau.

Tengah malam Mila terbangun dari tidur lelapnya, ia menyesal dan merasa bersalah karena tidak menyambut kepulangan Aris. Ia keluar kamar dan mencari Aris, dan hatinya lega melihat separuh jiwanya itu sudah terbuai mimpi di depan TV di ruang tengah. Ia usap dan belai rambut suaminya dengan lembut. Ia pandangi wajah laki-laki itu, Aris terlihat begitu lelah, tak kalah lelahnya dengan dirinya. Ia kecup kening laki-laki tempat ia menitipkan tulang rusuknya itu dengan penuh cinta sebagai ucapan selamat tidur. Ia tak tega membangunkan Aris dan membiarkannya tertidur di tempat itu. 

Mila pun tak kembali ke kamar, ia memilih tidur di ruang tengah bersama suaminya. Sesaat rasa kantuk yang mendera pada diri Mila hilang begitu saja saat ia melihat benda asing di samping tubuh suaminya. Gawai itu baru dilihat olehnya. Hatinya merasa tidak enak melihat benda itu. Karena penasaran, akhirnya ia membuka gawai itu dan bermaksud membaca semua WA yang ada di dalamnya. Betapa kagetnya Mila saat membaca WA-WA yang ada di gawai tersebut, seketika jemarinya bergetar saat memencet tombol demi tombol dan seolah tangannya tak berdaya menggenggam benda kecil berwarna hitam itu. Kepalanya serasa dihantam godam besar. Petir pun tak mau kalah untuk menyambar tubuhnya. Tanpa disadari, air matanya pun menetes. Dan tetesan itu jatuh mengenai tubuh Aris. Aris pun terbangun. Ia pun terkejut melihat Mila sudah berada di sampingnya dalam keadaan menangis sambil memegang benda hitam yang sengaja ia letakkan di sampingnya agar terlihat oleh Mila.

            “Kamu jahat, Mas. Siapa wanita itu?” ucap Mila sambil terisak.

Baca juga: Rindu dalam Doa

            “Itu tidak seperti yang kamu bayangkan, Dek,” jelas Aris sambil memeluk istri yang sebenarnya sangat ia cintai. Mila pun pasrah dalam pelukan belahan jiwanya itu dan menangis sepuas-puasnya untuk menghilangkan kesedihan dan beban pikirannya itu. Aris terus berusaha menenangkan Mila dalam dekap erat pelukannya.

            Keesokan harinya.....

            “Mila sudah masuk jebakanku, Han.” Aris memulai pembicaraan dengan sahabatnya, Burhan.

            “Dia sudah mengetahui sandiwara perselingkuhanmu?”

            “Ya, tadi malam dia membaca semua WA Ana yang ada di HP dan dia mulai curiga kalau aku selingkuh, aku yakin dia percaya dengan sandiwaraku ini. Walaupun jujur, sebenarnya aku tidak tega menyakiti hatinya dan melihatnya menangis, tapi ini aku lakukan demi kebaikan dan kebahagiaannya juga. Aku sangat mencintainya, dan dia pun sangat mencintaiku.”

            “Apa tidak ada cara lain yang lebih baik? Menurutku, lebih baik kamu jujur dengan keadaanmu yang sebenarnya. Aku yakin, dengan dukungan dan doa istrimu kamu bisa semakin tabah dan kuat menghadapi semua ini. Dan aku yakin kamu dan istrimu bisa melewati keadaan ini dengan kebersamaan.”

              “Inilah cara terbaik, kebahagiaannya adalah segala-segalanya bagiku. Walaupun sebenarnya aku tak sanggup jika harus melepaskannya. Aku tidak ingin melihatnya bersedih dan menderita bersamaku. Aku tak bisa memberikan yang terbaik untuknya. Aku tak bisa jadi pelindungnya.”

            “Lalu apa rencanamu selanjutnya?” tanya Burhan menyelidik.

            “Aku akan terus menunjukkan bukti-bukti kepada Mila kalau aku selingkuh sampai akhirnya dia tidak tahan dan meminta cerai dariku.”

            “Apa kamu sudah gila, Ris?”

            “Ya, aku gila sejak aku tahu keadaanku yang sebenarnya. Sejak aku tahu kalau aku tidak akan bisa membahagiakan Mila, satu-satunya wanita yang mampu menyentuh hatiku.”

Hubungan Mila dan Aris semakin lama semakin dingin. Aris terus memanas-manasi Mila dengan sandiwara perselingkuhannya. Bukan hanya WA yang secara sengaja ia tunjukkan, tapi juga foto-foto mesra dengan Ana, wanita yang ia sewa sebagai teman selingkuh dalam skenario yang dibuatnya. Bahkan Aris juga pernah menjebak Mila supaya melihat perselingkuhan mereka dengan mata kepalanya sendiri. Tidak hanya itu, Aris pun semakin larut malam pulang ke rumah, bahkan kadang-kadang sampai tidak pulang.

            “Mas, kenapa kamu tega melakukan ini semua kepadaku. Apa kamu sudah tak cinta lagi kepadaku? Apa salahku kepadamu sampai kamu menyakitiku seperti ini? Katakan Mas, supaya aku bisa memperbaiki diri dan hubungan kita kembali harmonis seperti dulu. Aku capek Mas menghadapi sikapmu yang semakin lama semakin manjadi-jadi. Apa maumu sebenarnya?” Mila masih terus menangis. Sedangkan Aris hanya diam membisu, dia tidak sanggup melihat wanita yang sangat dicintainya menangis, tapi dia harus melakukannya walaupun harus menyakiti belahan jiwanya itu.

            “Kenapa diam saja, Mas? Jawab pertanyaanku. Aku harus bagaimana supaya kamu kembali seperti suamiku yang dulu, yang perhatian, sayang, dan punya banyak waktu untukku.” Air matanya pun terus menetes membasahi wajah manisnya. Dan Aris masih menunduk dan terdiam. Jangankan untuk berbicara, menatap wajah Mila yang sedang menangis pun ia tak sanggup.

            “Aku mohon, Mas, tinggalkan wanita itu dan akhiri hubungan kalian, demi rumah tangga kita, demi keluarga besar kita, demi kebaikan bersama.”

            “Aku tak bisa,” terpaksa Aris menjawab pertanyaan itu. “Ini langkah awal yang bagus agar Mila segera mengambil keputusan,” pikir Aris.

            “Mengapa tak bisa? Kamu harus memilih salah satu di antara kami, aku atau dia?”

            “Aku tak bisa memilih salah satu di antara kalian,” jawab Aris terbata-bata.

            “Kalau kamu tak bisa memilih, biarkan aku yang memilihkannya untukmu, Mas. Aku lelah dengan keadaan kita yang seperti ini. Aku ini seorang wanita biasa, kesabaranku ada batasnya, aku punya perasaaan. Selama ini aku sudah cukup bersabar menghadapi sikap dan ulahmu kepadaku. Inilah aku dengan segala kekuranganku. Ini pasti bukan jalan yang terbaik, tapi mungkin bisa membuat semua lebih baik. Ceraikan aku, Mas, dan kamu bisa leluasa dengan wanita itu.” pinta Mila kepada Aris. Inilah kata-kata yang ditunggu oleh Aris. Tapi dadanya begitu sesak mendengar kata-kata yang keluar dari bibir istrinya itu. Mau tidak mau, suka tidak suka, Aris pun mengiyakan karena memang inilah tujuan sandiwaranya.

            Setelah memberitahu masing-masing pihak keluarga, proses perceraian pun berlangsung dengan lancar. Enam bulan kemudian mereka resmi bercerai dan menjalani kehidupan masing-masing. Walaupun masih tinggal satu kota, tapi mereka tidak pernah saling bertemu ataupun berkomunikasi. Mila sudah terlanjur terlalu sakit hati dan membenci Aris. Jangankan untuk bertemu atau berkomunikasi, mendengar namanya pun ia sudah tak sudi. Sedangkan Aris harus menghadapi keadaannya sendirian dan membunuh dengan tega setiap kali kerinduannya kepada Mila itu muncul. Sungguh sangat berat bagi Aris, karena itu berarti ia harus menikam hatinya setiap detik. Dan ia pun masih mengawasi gerak-gerik Mila serta selalu memastikan bahwa wanita yang selalu mengisi relung hatinya itu dalam keadaan baik-baik saja.

            Satu tahun kemudian....

            “Hai Ris, maaf aku terlambat karena tadi masih ada urusan yang harus segera diselesaikan.” sapa Burhan kepada Aris yang sedang menunggunya sambil menikmati secangkir kopi.

            “Iya tidak apa-apa.”

            “Bagaimana keadaanmu? Kenapa wajahmu pucat? Kamu baik-baik saja kan?” Burhan khawatir melihat keadaan Aris.

            “Aku baik-baik saja. Sengaja aku ingin bertemu denganmu di sini. Kamu satu-satunya sahabatku yang paling aku percaya. Kamu satu-satunya orang yang tahu apa yang sebenarnya terjadi antara aku dan Mila. Kamu pun satu-satunya orang yang tahu tentang penyakitku sejak awal. Bahkan keluargaku pun tak ada yang tahu. Aku bahagia karena Mila ternyata bisa menjalani kehidupannya tanpaku walaupun dia masih sendiri. Entah ia sudah bisa melupakanku atau belum, aku pun tak tahu. Andaikan terjadi sesuatu denganku, tolong berikan surat ini kepada Mila.” kata Aris sambil menyerahkan sepucuk surat kepada Burhan.

            “Kamu ngomong apa sih, Ris. Jangan ngaco ah!”

            “Hidupku tak akan lama lagi, Han. Tolong jaga Mila untukku.”

            Dan pembicaraan mereka berakhir bersamaan dengan terbenamnya sang surya. Pertemuan itu merupakan pertemuan terakhir antara Aris dan Burhan. Dan sore itu menjadi sore terakhir Aris melihat siluet senja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun