“Mengapa tak bisa? Kamu harus memilih salah satu di antara kami, aku atau dia?”
“Aku tak bisa memilih salah satu di antara kalian,” jawab Aris terbata-bata.
“Kalau kamu tak bisa memilih, biarkan aku yang memilihkannya untukmu, Mas. Aku lelah dengan keadaan kita yang seperti ini. Aku ini seorang wanita biasa, kesabaranku ada batasnya, aku punya perasaaan. Selama ini aku sudah cukup bersabar menghadapi sikap dan ulahmu kepadaku. Inilah aku dengan segala kekuranganku. Ini pasti bukan jalan yang terbaik, tapi mungkin bisa membuat semua lebih baik. Ceraikan aku, Mas, dan kamu bisa leluasa dengan wanita itu.” pinta Mila kepada Aris. Inilah kata-kata yang ditunggu oleh Aris. Tapi dadanya begitu sesak mendengar kata-kata yang keluar dari bibir istrinya itu. Mau tidak mau, suka tidak suka, Aris pun mengiyakan karena memang inilah tujuan sandiwaranya.
Setelah memberitahu masing-masing pihak keluarga, proses perceraian pun berlangsung dengan lancar. Enam bulan kemudian mereka resmi bercerai dan menjalani kehidupan masing-masing. Walaupun masih tinggal satu kota, tapi mereka tidak pernah saling bertemu ataupun berkomunikasi. Mila sudah terlanjur terlalu sakit hati dan membenci Aris. Jangankan untuk bertemu atau berkomunikasi, mendengar namanya pun ia sudah tak sudi. Sedangkan Aris harus menghadapi keadaannya sendirian dan membunuh dengan tega setiap kali kerinduannya kepada Mila itu muncul. Sungguh sangat berat bagi Aris, karena itu berarti ia harus menikam hatinya setiap detik. Dan ia pun masih mengawasi gerak-gerik Mila serta selalu memastikan bahwa wanita yang selalu mengisi relung hatinya itu dalam keadaan baik-baik saja.
Satu tahun kemudian....
“Hai Ris, maaf aku terlambat karena tadi masih ada urusan yang harus segera diselesaikan.” sapa Burhan kepada Aris yang sedang menunggunya sambil menikmati secangkir kopi.
“Iya tidak apa-apa.”
“Bagaimana keadaanmu? Kenapa wajahmu pucat? Kamu baik-baik saja kan?” Burhan khawatir melihat keadaan Aris.
“Aku baik-baik saja. Sengaja aku ingin bertemu denganmu di sini. Kamu satu-satunya sahabatku yang paling aku percaya. Kamu satu-satunya orang yang tahu apa yang sebenarnya terjadi antara aku dan Mila. Kamu pun satu-satunya orang yang tahu tentang penyakitku sejak awal. Bahkan keluargaku pun tak ada yang tahu. Aku bahagia karena Mila ternyata bisa menjalani kehidupannya tanpaku walaupun dia masih sendiri. Entah ia sudah bisa melupakanku atau belum, aku pun tak tahu. Andaikan terjadi sesuatu denganku, tolong berikan surat ini kepada Mila.” kata Aris sambil menyerahkan sepucuk surat kepada Burhan.
“Kamu ngomong apa sih, Ris. Jangan ngaco ah!”
“Hidupku tak akan lama lagi, Han. Tolong jaga Mila untukku.”