Bukan main memang, bagaimana makhluk berukjuran nanometer mampu melumpuhkan dunia dalam sekejap. Pertama-tama, saya harap para pembaca bisa memahami judul yang penulis angkat dengan kepala dingin. Penulis akan mencoba memaparkan artikel ini secara sederhana, tidak perlu panjang lebar. Selain agar memudahkan pembaca dalam mencerna, juga agar tidak terkesan menebar kepanikan di situasi yang dibilang darurat nasional ini.
Awal bulan maret ini, presiden secara langsung mengumumkan dua kasus positif pertama di Indonesia. Sepertinya, pemerintah ingin menjelaskan pada public, bahwa kasus ini sudah terkendali. Dengan percaya diri, pemerintah masih tidak terlalu membatasi pergerakan rakyatnya. Tak berselang lama, kasus positif Corona bertambah secara perlahan tapi pasti.
Pemerintah melalui kementrian Kesehatan berusaha menenangkan public dengan mengatakan bahwa kasus lanjutan ini adalah hasil penularan dari 2 kasus pertama, karena adanya kontak fisik dengan dua orang tersebut. Kemudian ada penambahan kaus lagi, pemerintah masih berusaha menenangkan situasi dengan berkata bahwa ini kasus impor (imported cases).
Saya secara pribadi masih menaruh harapan penuh pada pemerintah, dan saya percaya bahwa wabah ini benar-benar terkendali. Tapi apa yang saya yakini rupanya tidak terlalu benar, beberapa hari kemudian, masih di bulan yang sama. Pemerintah kembali mengumumkan penambahan kasus dan kali ini, penambahan jumlahnya cukup signifikan.
Pemerintah pusat selaku komando mulai terlihat gagap dalam mengambil kebijakan penting untuk mengendalikan penyebaran wabah ini. Terbukti dengan tidak adanya tindakan nyata yang mampu benar-benar menghambat kasus ini. Okelah, pemerintah menerapkan Social Distance dengan slogan “bekerja dari rumah, belajar (sekolah) dari rumah dan ibadah di rumah”.
Tapi apakah kebijakan ini efektif, sepertinya tidak. Mengapa? Anak-anak sekolah yang diliburkan memang tidak berkumpul di sekolah, tapi mereka memanfaatkan waktu luangnya untuk ke tempat-tempat hiburan, seperti warnet, rental PS dan lain semacamnya. Mereka tidak salah, toh mereka kan hanya dilarang dating ke sekolah, benar?
Untuk para pekerja, ya okelah bagi mereka yang bergaji tetap, seperti PNS, pejabat BUMN, pejabat pemerintahan bisa bekerja dari rumah karena bagaimanapun gaji tetap bisa diterima (terjamin). Lah apakabar dengan karyawan (buruh) pabrik? Penajaga toko retail? Pedagang-pedagang usaha kecil menengah? Mereka mau bekerja dari rumah? Lalu siiapa yang menjamin biaya hidup mereka? Jawabannya, “tidak ada”.
kembali ke makna judul artikel ini, mengapa harus disamakan dengan Quick Qount? Anda tentu masih ingat bagaimana detik-detik penantian penambahan persentase suara yang dikumpulkan oleh lembaga survey dan disampaikan melalui stasiun televisi.
Setiap waktu persentase itu akan naik, mungkin bagi anda yang sedang mendukung salah satu calon atau partai, setiap saat anda akan mencoba mellihat update hasil quick count yang terus berubah-ubah sembari bertambahnya persentase suara terkumpul. Selama suara terkumpul belum mencapai 100% masih ada kemungkinan suara itu berubah-ubah. Suaranya sudah ada semua, hanya saja masih menunggu proses pengumpulan dan perhitungan.
Nah, sampai saat ini kementrian kesehatan sudah hampir sama seperti lembaga survey dalam hal menyampaikan update penambahan kasus positif warga terinfeksi Covid-19.
Mengapa? Karena saya meyakini bahwa sebenarnya mereka yang terjangkit itu sudah banyak, mungkin lebih banyak dari yang sudah diungkap ke publik. Sebagai bukti, kasus pertama di daerah saya, yaitu di Malang ada dua orang dinyatakan positif corona. Namun sangat disayangkan, salah satu dari keduanya meninggal dunia, sebelum hasil uji laboraturium itu selesai.
Jadi, saat meninggal pun dia masih berstatus Pasien Dalam Pengawasan (PDP). Setelah meninggal baru lah dia bisa dinyatakan positif terinfeksi Corona. Padahal, menurut beberapa sumber yang saya baca, gejala yang dirasakan oleh orang yang terinfeksi Corona pada 3 – 4 hari pertama hanya seperti orang masuk angin. Itu artinya, si pasien terjangkit baru bisa dicurigai itu setelah 4 hari terinfeksi.
Itu pun masih melalui proses yang panjang. Dan itu pun kalau si pasien memiliki kesadaran untuk memeriksakan dirinya ke Rumah Sakit Rujukan. Belum lagi, baru-baru ini ada informasi mengatakan bahwa salah satu Rumah Sakit di Surabaya memasang tarif yang tidak murah untuk sekedar melakukan cek virus Covid-19. Bahkan ada pilihan paket-paketnya, sudah seperti pedagang kuota internet lah ya.
Singkatnya saya mau bilang begini sebagai simulasi saja, “anda terinfeksi Corona? Anda harus menunggu 3 – 4 hari, tepatnya menunggu gejala-gejalan fisik itu muncul, setelah itu siapkan anda harus pergi ke rumah sakit rujukan, kalau gratis yang Alhamdulillah, kalau disuruh bayar, ya gak papa lah cari pinjaman dulu, demi kesehatan diri anda. Setelah itu mohon bersabar, karena specimen anda masih harus dikirim ke pusat, yaitu Jakarta, sambil berdoa mudah-mudahan sang ‘kurir’ tidak terjebak macet di perjalanan.
Setelah specimen sampai di Jakarta, anda masih harus sedikit bersabar, karena peralatannya terbatas, jadi harus antri, menurut sumber yang say abaca sih sekitar 4 – 5 hari masa tunggunya. Nah selama masa penantian ini, anda belum diperlakukan layaknya pasien positif Corona, meskipun anda sebenarnya memang terjangkit, karena belum ada bukti.”
Saya bukan berniat menebar kepanikan, seperti yang saya katakana di awal, bahwa pembaca harus mencerna artikel ini dengan kepala dingin. Maksud dari simulasi itu agar pemerintah bisa lebih serius lagi dalam mendeteksi dini penyebaran virus ini.
Di Vietnam, ketika ada beberapa orang di salah satu kota terjangkit Covid-19, pemerintah langsung menutup akses keluar-masuk kota tersebut sambil dilakukan tes untu seluruh penduduk kota itu, tanpa terkecuali, tapi dengan catatan pemerintahnya siap menanggung kebutuhan pokok tiap-tiap warga yang terisolasi. Akhirnya Vietnam terbukti mampu meredam penyebaran virus secara cepat.
Sedikit solusi dari penulis (dengan segala keterbatasan), sudah saatnya pemerintah memilih antara dua strategi, setidaknya pilih salah satunya saja. Yaitu antara Lockdown Indonesia dengan segala konsekuensinya, atau lakukan tes secara menyeluruh, tanpa terkecuali. Data diri tiap-tiap warga hamper seluruhnya usdah ada di database kementrian dalam negeri. Data tersebut kemudian bisa diklasifikasikan berdasarkan tempat tinggal. Kembali saya beri sedikit simulasi jika pemerintah memilih strategi ke-dua.
Tentu sebelum perang dimulai, amunisi harus mencukupi, dalam hal ini adalah alat cek kesehatan untuk pendeteksi virus Covid-19. Pada pelaksanaannya mula-mula lakukan pendataan secara menyeluruh, setelah itu siapkan fasilitas kesehatan mungkin di setiap kelurahan ada 3 - 4 faskes, kurang lebih tak jauh berbeda seperti system TPS (Tempat Pemungutan Suara) dalam pemilu.
Setelah itu hitung kalkulasinya, kira-kira tiap-tiap fasilitas kesehatan mampu menangani berapa penduduk untuk tes ini. Misalkan tiap-tiap faskes bisa menangani 200 orang dalam sehari, sementara jumlah penduduk dlam satu kecamatan ada 1000 jiwa. Berarti beri waktu kisaran 3 - 4 hari untuk tes ini, setiap penduduk punya jadwal tes yang telah disesuaikan untuk menghindari kepadatan di fasilitas kesehatan.
Nah, selama masa tes ini, liburkan semua aktivitas, selain pelayanan public yang sifatnya primer, seperti Listrik, telekomunikasi, air dan semisalnya, bisa dibilang semi-lockdown. Saya kira dalam waktu 7 hari saja, pemerintah bisa merilis siapa saja yang positif terinfeksi, sehingga masing-masing si terjangkit bisa dijemput ke rumah masing-masing untuk diisolasi dan diberi perawatan khusus. setelah semua terungkap, aktivitas bisa dipulihkan kembali seperti semula.
Strategi tersebut paling memungkinkan paling memungkinkan untuk diambil, karena lockdown cukup membahayakan perekonomian Negara. Tentu kita semua bisa memahami bahwa ada niat baik pemerintah menghindari Lockdown, karena kita semua tidak ingin terbebas dari Corona tapi malah masuk ke jurang krisis perekonomian. Itu sama seperti berusaha keluar dari satu jurang untuk lari ke jurang yang lain.
Penulis masih menaruh kepercayaan besar kepada pemerintah, penulis yakin kita semua bisa melalui musibah ini dengan baik. Dan sebagai penutup, dalam menghadapi wabah ini, kita boleh waspada, tapi jangan terlalu panik apalagi menebar kepanikan dengan berita-berita hoax. Stay safe and stay strong Indonesia. Wallahua’lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H