Mohon tunggu...
Naufal Alfarras
Naufal Alfarras Mohon Tunggu... Freelancer - leiden is lijden

Blogger. Jurnalis. Penulis. Pesilat. Upaya dalam menghadapi dinamika global di era digitalisasi serta membawa perubahan melalui tulisan. Jika kau bukan anak raja, juga bukan anak ulama besar, maka menulislah. "Dinamika Global dalam Menghadapi Era Digitalisasi" Ig: @naufallfarras

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Tantangan Masyarakat Milenial Indonesia: Rehat Sejenak dari Media Sosial!

23 Mei 2019   11:22 Diperbarui: 26 Mei 2019   09:10 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: kaskus.co.id

KPU telah merilis hasil rekapitulai penghitungan suara dalam Pilpres 2019 pada 21 Mei 2019 lalu dengan paslon nomor urut 01 sebagai pemenang. Kemenangan yang dicapai oleh paslon 01 tidak serta merta langsung menyelesaikan problematika pemilu di Indonesia, melainkan timbul konflik baru pasca pengumuman yang dilakukan oleh KPU ini. Aksi unjuk rasa yang terjadi di Ibukota sejak dua hari yang lalu membawa dampak berupa kerugian finansial maupun korban fisik.

Dalam hal ini, penulis ingin menjelaskan bagaimana dan apa peran masyarakat milenial dalam menyikapi aksi yang sedang berlangsung tersebut dan tentunya sebagai langkah untuk mencegah perpecahan bangsa. 

Masyarakat milenial yang sangat akrab dengan media sosial seperti Facebook, Instagram, WhatsApp, dan sebagainya tidak dapat lepas dari media ini walaupun untuk sehari saja. 

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan serta Menteri Komunikasi dan Informasi sepakat untuk membatasi penggunaan media sosial di Indonesia hingga tanggal 24 Mei 2019 mendatang. Tujuannya adalah untuk meminimalisir penyebaran berita dan informasi hoax di media sosial yang memicu konflik semakin memanas.

Ada yang menganggap keputusan yang dilakukan oleh pemerintah berlebihan dan apa pula yang mengapresiasi  keputusan ini. Bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya di media sosial akan merasa keberatan karena media sosial sebagai media untuk memperoleh pundi-pundi keuangan harus terganggu dengan adanya aksi 22 Mei. 

Sedangkan yang mengapresiasi menganggap bahwa keputusan yang dilakukan pemerintah sudah tepat untuk mengurangi dampak negatif dari penyebaran -- penyebaran berita hoax terkhusus di media sosial.

Belajar dari Pengalaman Timur Tengah

Lalu, seberapa besar dampak penggunaan media sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Mari kita berkaca dengan insiden yang terjadi di Timur Tengah, tepatnya peristiwa Arab Spring.

 Arab Spring adalah insiden yang terjadi di negara Timur Tengah berupa revolusi dengan menggulingkan kekuasaan pemerintah yang sedang berkuasa. Masyarakat yang merasa tidak puas dengan rezim menuntut agar rezim tersebut segera dicopot. 

Tapi apa yang terjadi sekarang? Banyak dari negara -- negara di Timur Tengah yang semula dipimpin oleh rezim otoriter menjadi semakin menderita dengan adanya pergantian rezim.

Pada 20101, Tunisia mengalami revolusi dengan jatuhnya rezim Presiden Ben Ali yang telah berkuasa selama lebih dari 20 tahun. Pergerakan massa yang masif diawali dengan adanya peristiwa bunuh diri yang dilakukan oleh Mohamed Bouazizi dengan membakar diri. 

Tidak lama kemudian informasi ini beredar dengan cepat di media sosial dan mampu menarik suara rakyat Tunisia untuk menuntut Presiden Ben Ali segera melepaskan jabatannya karena tidak mampu memberi kesejahteraan kepaa rakyatnya.

Selain di Tunisia, aksi serupa juga terjadi di Mesir setahun berikutnya. Seorang pemuda bernama Khaled Said yang disiksa hingga tak bernyawa oleh aparat keamanan tersebar di media sosial. 

Tentunya aksi keji ini mengundang protes keras oleh warga dan menuntut Presiden Hosni Mubarak segera turun. Langkah yang dilakukan adalah dengan menarik simpatisan warga yang berujung pada lengsernya Presiden Hosni Mubarak.

Mendukung Penuh Kebijakan Pemerintah

Penulis berharap konflik yang terjadi di Timur Tengah tidak terulang kembali di Indonesia. Ragam budaya yang dimiliki negeri ini jauh lebih kompleks dibandingkan dengan di Timur Tengah sehingga membuka peluang konflik yang jauh lebih besar juga. Di tambah lagi Indonesia yang baru saja melakukan pesta demokrasi menjadi sasaran negara lain dalam masa transisi pasca Pilpres 2019. 

Banyak terdapat kepentingan -- kepentingan asing berusaha mengganggu stabilitas nasional. Dan salah satu upaya pemerintah adalah dengan membatasi penggunaan media sosial selama beberapa hari ke depan untuk meredakan konflik khususnya Aksi 22 Mei dan mengurangi penyebaran konten hoax yang akan memecah persatuan bangsa.

Seperti yang telah diketahui, rasanya sulit sekarang untuk menjumpai masyarakat yang tidak mengenal gadget dan media sosial. Dari anak-anak hingga kakek-nenek dan dari kalangan bawah hingga pejabat semuanya mempunyai gadget yang digunakan untuk mengakses media sosial. Memperoleh informasi baru sangatlah mudah dan hanya berjarak di ujung jari saja. 

Tapi terkadang hal ini dimanfaatkan oleh beberapa oknum untuk keuntungan pribadi dan kelompok, yaitu dengan menyediakan konten-konten yang bersifat 'menarik' hingga provokatif.

Selain itu, masyarakat Indonesia dengan mayoritas penduduk muslim yang sedang menunaikan ibadah puasa, menyebarkan konten -- konten yang mengandung propaganda sama halnya dengan memfitnah. 

Kegiatan positif yang dapat dilakukan  dengan meningkatkan kualitas ibadah selama ibadah puasa, membaca buku favorit, hingga melakukan kegiatan positif lainnya sehingga mampu mengembangkan potensi yang ada di dalam diri dibandingkan hanya sibuk membuka timeline media sosial dan akhirnya diri kita secara tidak sadar terlibat dalam menyebarkan konten hoax.

Pertimbangan lain yang dilakukan pemerintah menurut penulis adalah tingkat literasi atau membaca rata-rata masyarakat Indonesia yang masih sangat rendah. Masyarakat kita masih dapat dengan mudah untuk mempercayai suatu konten yang dimana konten tersebut belum dapat dipastikan keabsahannya. 

Baru hanya sekedar membaca judul tanpa membaca hingga akhir, masyarakat kita sudah buru-buru ingin mem-posting informasi yang diperoleh. Rasa ingin dipuji karena menjadi yang pertama mengetahui informasi tersebut merupakan alasan yang tepat dengan melupakan kebenaran atas informasi yang telah diperoleh.

Lantas apa poin penting yang bisa kita ambil dari pelajaran yang terjadi baik di Tunisia dan Mesir? Lebih bijak dalam menggunakan media sosial dirasa sebagai jawaban yang tepat. 

Bagi masyarakat yang tidak bisa lepas dari media sosial walaupun hanya untuk 5 menit rasanya sangat sulit. Tidak hanya itu, menahan diri untuk tidak menyebarkan konten-konten hoax akan sangat membantu negeri ini dalam mengurangi adanya disinformasi.

Membiasakan diri untuk membaca konten, mulai dari judul hingga penutup. Tujuannya apa? Tidak lain adalah agar apa yang ingin disampaikan oleh sumber bisa diterima dengan baik oleh konsumennya. 

Selain itu, biasakanlah untuk membuka situs-situs penyedia berita resmi dan dapat dipertanggungjawabkan. Apabila kita menerima suatu informasi yang mengandung unsur provokatif, alangkah bijaknya apabila kita memutuskan untuk tidak menyebarkan informasi tersebut. Dengan begitu, kita pun juga membantu pemerintah dalam memerangi penyebaran hoax di Indonesia.

Bogor, 23 Mei 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun