Aku membelai wajahnya. Dia nampak menangis begitu tersedu-sedu.
“Kau kenapa?”
Dia tidak menjawab. Aku belai pipinya yang merah itu. Ia sedikit menyeringai kesakitan.
“Sakit ya?”
Aku pun memeluknya agar ia tak lagi kesakitan. Aku harap ia mau memahami perasaanku.
Aku pun kemudian berbisik pelan, Aku mencintaimu sayang, dan menambahkan kecupan lembut di dahi sebagai pengantar tidur malam ini.
***
Sudah beberapa hari ini, dia menyekapku. Membekap tangan dan kakiku dengan ikatan yang tak mungkin kulepaskan.
Percuma aku berteriak-teriak. Tak ada yang dapat mendengarku. Ia hanya akan semakin marah dan menghujamiku dengan pukulan bertubi-tubi jika aku terus membuat kegaduhan.
***
Aku membawakannya bubur hangat.
Aku yakin dia kedinginan semalam tidur di lantai yang dingin.
“Makan dulu ya.”
“Ini aku suapin.”
DIa menolak. Ah, rupanya dia sedang rewel. Aku buka sedikit mulutnya dengan tanganku, memaksanya agar mau memakan bubur yang telah kusediakan.
Dia menangis. Aku tersenyum. Membelai wajahnya yang tak seceria biasanya.
“Kalau kau menurut, pasti Abang akan memperlakukanmu dengan baik.”
***
GILA.
DIA PASTI ORANG GILA.
AKU TAK TAHAN LAGI DENGAN SEMUA INI.
***
“Kasihan.”
“Iya…. Kasihan.”
“Kenapa orang sebaik dokter harus mengalami musibah seperti ini.”
Mereka berdua kemudian menghela napas secara pelan.
TOLONG… TOLONG…
Suara dari dalam bangsal kembali terdengar. Aku tersenyum.
“Biar saya yang mengeceknya. Kalian silahkan kembali ke ruangan.”
***
“Apa kabar sayang?” katanya.
Aku hanya diam.
Melihat senyumnya yang semakin menakutkan dari hari ke hari.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H