Pastinya kita semua setuju seratus persen atas pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman, saat memberikan kuliah umum di Universitas Sultan Agung (Unissula) -- Semarang, Jawa Tengah (9/9), yang menyebut Indonesia membutuhkan pemimpin muda.
Publik pun langsung menangkap  bahwa pernyataan erat sekali terhubung dengan  gugatan penurunan batas usia capres -- cawapres dari 40 ke 35 tahun, yang kini sedang berlangsung di MK.
Pernyataan inipun kemudian memancing ragam reaksi dan tanggapan. Pertama, karena secara etika kehakiman dianggap tidak sepatutnya membicarakannya materiil perkara suatu pengujian undang-undang (UU).
Kedua, pernyataan Ketua MK ini kemudian ditafsir sebagai lampu hijau akan kabulkan gugatan tersebut, yang dianggap sarat muatan kepentingan politik pragmatis untuk memuluskan nama Gibran Rakabuming maju sebagai wacapres di Pilpres 2024.
Sebagaimana yang beredar, nama Wali Kota Solo tak lain adalah putra Presiden Jokowi yang kini berusia 35 tahun ini telah digadang-gadang untuk tampil maju sebagai cawapres di Pilpres 2024 menjadi pendamping capres Prabowo Subianto.
Atas pernyataan Ketua MK yang menyebut Indonesia membutuhkan pemimpin muda, saya pun kembali diingatkan beberapa hari sebelumnya, yaitu pertemuan Prabowo dengan putri Gus Dur yakni Yenny Wahid yang yang kini berusia 49 tahun.
Atas pernyataan Ketua MK ini pula yang menyebut Indonesia membutuhkan pemimpin muda, saya kira Yenny Wahid masih tergolong pemudi.
Jadi saya anggap baik Gibran Rakabuming maupun Yenny Wahid tergolong pemuda-pemudi, usianya belum berkepala di atas 5. Jadi masuk sebagaimana hitungan Ketua MK, di mana keduanya bakal calon pemimpin muda.
Sehingga keduanya layak dipertimbangkan pula untuk diajukan dan maju sebagai cawapres di Pilpres 2024, sebut saja menjadi cawapres pendamping Prabowo Subianto. Di mana kalau disandingkan yang satu putra Presiden Jokowi, sedang satunya lagi putri mantan Presiden Gus Dur. Keduanya punya garis silsilah anak presiden.
Terus terang, saya tidak mengenal keduanya secara personal, baik Gibran Rakabuming maupun Yenny Wahid, termasuk biografis rekam jejak politiknya. Jadi di sini saya tidak ingin berandai-andai, takut tidak objektif atau malah menjadi subjektivitas dalam memberi penilaian dan menilai.
Biar pembaca atau masyarakat yang secara objektif memberi penilaian dan menilainya atas rekam jejak keduanya, kemarin, hari ini dan prediksi hari esok.
Di sini saya hanya kembali diingatkan dengan ungkapan atau pepatah "like father like son", yang artinya kira-kira bahwa seorang anak punya kesamaan dengan ayah, atau buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.
Kita pun sering dengar, Megawati atau Puan Maharani disebut, selain anak biologis Bung Karno, juga anak ideologis sebagai pewaris ajaran bapaknya yaitu Marhenisme dan Trisakti Bung Karno, sebagaimana kalau pada ungkapan "like father like son".
Begitu halnya kalau ungkapan tersebut, kita sematkan pada Gibran Rakabuming maupun Yenny Wahid, yang mana kalau disandingkan keduanya adalah anak presiden, anak Presiden ke-7 dan anak Presiden ke-IV, pastinya bisa diberlakukan.
Semoga menjadi pilihan yang bijak. Bijak dalam menilai, memilah dan memilih sebelum jatuhkan putusan, manakala salah satu di antara keduanya disandingkan sebagai cawapresnya Prabowo Subianto. Ojo kesusu, ojo grusa-grusu, ojo keblusuk, wedine ora untung malah buntung. Semoga!
Alex Palit, jurnalis pemerhati budaya musik dan politik Aliansi Pewarta Independen "Selamatkan Indonesia".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H