Mohon tunggu...
Alexius Mahargono Digdoprawiro
Alexius Mahargono Digdoprawiro Mohon Tunggu... Freelancer - Alumnus Pemerintahan FISIP UNDIP angkatan 1985. Aktifis Mapala dan fotografi. Peminat Literasi, perkara perkara politik, sosial dan seni

penggiat alam bebas, fotografer, pemerhati sosial politik, penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Halo Omnibus Law, How Low Can You Go?

13 Oktober 2020   16:01 Diperbarui: 13 Oktober 2020   16:06 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Begini bor...!

Buruh itu bukan volunteer, mereka bekerja untuk mencari penghasilan buat hidupnya dan keluarga.

Anggap saja kepentingan buruh diwakili oleh kurva X.

Pengusaha/majikan juga bukan sinterklas, mereka berinvestasi untuk mengembangkan bisnisnya. Apakah pengusaha menjalankan bisnisnya pyur dengan tujuan untuk kesejahteraan buruh...? No...!

Kesejahteraan buruh itu bonus. Ada prestasi, ada kontra prestasi, ini dalil.

Anggap saja kepentingan pengusaha diwakili oleh kurva Y.

Secara menejemen, tujuan mereka memang satu, tapi secara individu, jelas tujan mereka tidaklah sama. Nah... bagaimana cara menentukan titik singgung kedua kurva tersebut pada satu kuadran? 

Di sinilah negara harus hadir, pemerintah berperan untuk memfasilitasi agar kurva X dan kurva Y tersebut berpotongan pada kondisi yg fair. Pemerintah bisa salah? bisa! Pemerintah bukan malaikat bor, tetapi juga bukan iblis.

Di satu sisi pemerintah harus memfasilitasi tumbuhnya investasi, di sisi yang lain pemerintah juga harus memfasilitasi hajat hidup rakyatnya yang kebetulan berperan sebagai buruh. 

Jadi dalam perkara ini pemerintah tepat berdiri pada titik adhesi (eh... adhesi opo kohesi yo...? ;) ), tarik menarik antara partikel/kepentingan yang berbeda. Susah...? memang! Ribet...? sudah pasti jelas!

Jika tuntutan investor tidak di fasilitasi dengan iklim yang baik, pengusaha susah menanamkan investasinya. Sehingga hajat hidup buruh tidak akan terpenuhi karena minimnya lapangan pekerjaan. 

Tetapi jika tuntutan investor difasilitasi, maka akan ada kepentingan-kepentingan buruh yang dimutilasi, lantas pemerintah mendapat "nick name" baru... rezim pro kapitalis. Lah... pemerintah kan bertanggung jawab untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. 

Benar! Makanya dibutuhkan investasi. Dari mana? yo mbuh...! bisa dari mana saja. Asing silahkan, aseng yo silahkan. Tanpa peran investasi pihak lain, mana mungkin... duite sopo...?

Demikian sebaliknya, jika pemerintah lebih membela kepentingan buruh, dengan memutilasi tuntutan-tuntutan investor, bisa dipastikan pada ogah berinvestasi bisnis di sini, lantas investasi terbang melayang landing di negara orang. Piye jal...?

Maka dibuatlah undang undang agar titik potong kedua kurva tersebut tepat pada posisi yang fair. Adil untuk buruh, nyaman untuk pengusaha... lalu semua horee... ngopi bareng... kenthip bareng. Hehehe

Tetapi memang dunia persilatan tidak sesimpel itu bor...! Segala aturan untuk mengkompromikan dua kepentingan yang beda, selalu saja ada pro dan kontra. 

Pro pengusaha berarti kontra bagi buruh, pro buruh berarti kontra bagi pengusaha... akan begitu terus hingga kerbau bisa terbang. Keriuhan ini belum ditambah lagi dengan yang hobi "nunggang", entah dari depan atau belakang, demi satu narasi... entah narasi apa.

Baiklah..., hajat hidup buruh harus terpenuhi itu iyess! Tetapi hajat investasi harus difasilitasi adalah juga iyess. Di sinilah harus terjadi satu refleksi, mana mungkin hajat hidup buruh bisa terpenuhi jika perusahaan dan industri pada menggembok pagar pintu gerbangnya, karena investor mutung dituntut harus lebih menjadi sinterklas.

Sementara pengusaha tidak berinvestasi di sini tidak masalah, karena makan tidur di rumah pun mereka sudah tajir duluan. Duitnya didepositokan selesai itu barang. Lha buruh...? bengong di rumah enam bulan saja sudah pasti  menjerit sundul langit.

Trigernya adalah kompromi yang difasilitasi dengan UU  produk pemerintah, yang berada tepat pada titik adhesi. Ke kiri ditarik Emma Watson, ke kanan ditarik Natalie Portman, galau kan?  Jadi masih mau menolak...?

Mungkin lebih aseek jika literasinya bukan menolak tapi duduk tripartit semeja, pengusaha, buruh, dan pemerintah, untuk bertrialog dengan semangat mengoreksi titik potong kedua kurva tersebut yang dianggap kurang fair, untuk kesejahteraan buruh yg lebih manusiawi, untuk kenyamanan pengusaha dalam berinvestasi, dan kejayaan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Merdeka...!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun