Tetapi jika tuntutan investor difasilitasi, maka akan ada kepentingan-kepentingan buruh yang dimutilasi, lantas pemerintah mendapat "nick name" baru... rezim pro kapitalis. Lah... pemerintah kan bertanggung jawab untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya.Â
Benar! Makanya dibutuhkan investasi. Dari mana? yo mbuh...! bisa dari mana saja. Asing silahkan, aseng yo silahkan. Tanpa peran investasi pihak lain, mana mungkin... duite sopo...?
Demikian sebaliknya, jika pemerintah lebih membela kepentingan buruh, dengan memutilasi tuntutan-tuntutan investor, bisa dipastikan pada ogah berinvestasi bisnis di sini, lantas investasi terbang melayang landing di negara orang. Piye jal...?
Maka dibuatlah undang undang agar titik potong kedua kurva tersebut tepat pada posisi yang fair. Adil untuk buruh, nyaman untuk pengusaha... lalu semua horee... ngopi bareng... kenthip bareng. Hehehe
Tetapi memang dunia persilatan tidak sesimpel itu bor...! Segala aturan untuk mengkompromikan dua kepentingan yang beda, selalu saja ada pro dan kontra.Â
Pro pengusaha berarti kontra bagi buruh, pro buruh berarti kontra bagi pengusaha... akan begitu terus hingga kerbau bisa terbang. Keriuhan ini belum ditambah lagi dengan yang hobi "nunggang", entah dari depan atau belakang, demi satu narasi... entah narasi apa.
Baiklah..., hajat hidup buruh harus terpenuhi itu iyess! Tetapi hajat investasi harus difasilitasi adalah juga iyess. Di sinilah harus terjadi satu refleksi, mana mungkin hajat hidup buruh bisa terpenuhi jika perusahaan dan industri pada menggembok pagar pintu gerbangnya, karena investor mutung dituntut harus lebih menjadi sinterklas.
Sementara pengusaha tidak berinvestasi di sini tidak masalah, karena makan tidur di rumah pun mereka sudah tajir duluan. Duitnya didepositokan selesai itu barang. Lha buruh...? bengong di rumah enam bulan saja sudah pasti  menjerit sundul langit.
Trigernya adalah kompromi yang difasilitasi dengan UU Â produk pemerintah, yang berada tepat pada titik adhesi. Ke kiri ditarik Emma Watson, ke kanan ditarik Natalie Portman, galau kan? Â Jadi masih mau menolak...?
Mungkin lebih aseek jika literasinya bukan menolak tapi duduk tripartit semeja, pengusaha, buruh, dan pemerintah, untuk bertrialog dengan semangat mengoreksi titik potong kedua kurva tersebut yang dianggap kurang fair, untuk kesejahteraan buruh yg lebih manusiawi, untuk kenyamanan pengusaha dalam berinvestasi, dan kejayaan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Merdeka...!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H