Warga di kampung Dumabaga, Wame dan  Yanenggame menyebut Matius Wenda (52)  sebagai "Matius dari Dogoname". Ia adalah kader kesehatan yang melayani obat ketika ada anak atau orang dewasa yang sakit. Makhlum, untuk sampai ke Puskesmas di Assologaima mereka perlu berjalan kaki empat jam atau lebih, naik-turun gunung.
 "Yang paling dekat sudah ya di sini, di Dogoname. Sebagai pertolongan pertama," kata Matius. Honainya berada di sebuah tanah lapang di kaki bukit. Jalan perkerasan yang menghubungkan Wamena dengan Tiom berada di atas sana, sekitar 800 meter dari rumahnya.  Kampung Dogoname hanya terdiri atas tiga rumah dalam radius 2 kilometer, di Distrik Wame, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Tak usah membayangkan listrik dan sinyal telepon di sini.
Kader Posyandu dan MTBSM
Sebagai kader Posyandu dan MTBSM (Manajemen Terpadu Balita Sakit berbasis Masyarakat), Matius dilatih untuk megenali tanda-tanda kesakitan awal pada balita dan ibu hamil. Ia juga dilatih memberi pertolongan pertama kepada warga yang terserang pneumonia dan diare. Dua penyakit ini kerap menyerang warga dan menjadi penyebab kematian bayi paling tinggi di seluruh Pegunungan Tengah, Papua.
Dokter Yuristianti, Kepala Seksi Pemberantasan dan Pengendalian Penyakit Menular Dinas Kesehatan Jayawijaya mengakui bahwa pneumonia masih menjadi penyebab kematian bayi di bawah usia lima tahun paling banyak di kabaupaten ini. "Datanya kami tidak punya. Tetapi sekarang kami ada dua dokter spesialisasi anak di sini untuk bisa menekan kasus kematian bayi," ujarnya di Wamena, September 2021 lalu. Â Â
Empat kampung di atas berjauhan letaknya, dipisah oleh gunung-gunung dan lembah. Ada kampung yang terletak jauh di dasar lembah, tetapi ada pula di balik gunung. Jarak diukur dari berapa lama berjalan kaki, karena tidak ada kendaraan.  Misalnya dari Wame ke Dogoname hanya perlu satu jam. Tetapi dari Yanenggame ke Dogoname perlu waktu 2-3 jam karena melewati beberapa bukit dan  jalanan mendaki.
"Kalau ada anak bayi  sakit, entah itu dari Wame, Yanenggame, Dumabaga dan Dogoname, mereka datang minta obat sama saya. Tetapi kalau kondisinya sudah parah, saya bersama orang tuanya segera jalan ke Puskesmas di Assologaima," kata Matius.
 Dua Peristiwa BerkesanÂ
Matius Wenda masih ingat dua peristiwa ini. Pagi-pagi sekali seorang warga dari Wame membangunkan Matius. "Dia bilang istrinya sudah tiga hari mau melahirkan tetapi bayinya belum keluar. Istrinya sudah tidak bisa bergerak lagi," kata Matius menirukan ucapan sang suami.
Mereka berdua pergi ke Wame. Berjalan kaki. Matius ingin melihat sendiri untuk mengetahui seberapa parah si ibu hamil tersebut. Ternyata rumah mereka berada jauh di dasar lembah, di dekat sungai.
"Pas saya masuk honai, saya lihat ketubannya sudah pecah. Istrinya sudah tidak bisa bergerak sama sekali. Saya marah-marah sama sumainya, 'ko kenapa baru lapor setelah ko punya istri mau mati'?" kata Matius.
Matius memanggil beberapa tetangga yang rumahnya berdekatan untuk memikul ibu ini ke atas, Â di pinggir jalan yang bisa dijangkau kendaraan. Mereka menggotongnya ramai-ramai. Sementara Matius turun terburu-buru ke Puskesmas Assologaima untuk minta bantuan ambulance. Dari Assologaima ke Wame ada jalan perkerasan yang baru dibuka. Ambulance bisa masuk.
"Sekitar tengah hari begitu kami sudah bisa bawa istrinya turun ke bawah. Bidan Regina (Tabuni) yang bantu kelahiran. Anak dan ibunya selamat. Anak itu sudah bisa jalan sekarang. Sehat," kata Matius dengan wajah semringah.
Kali lain sepasang suami-istri datang ke honai Matius. Pagi-pagi, baru terang tanah. Istrinya memanggul noken di kepala seperti kebiasaan perempuan di sana.
"Pas datang begitu, mereka duduk di pinggir honai. Noken mereka simpan di samping. Diam saja. Trus saya datang tanya. Suaminya bilang, dia punya anak sudah satu bulan sakit," cerita Matius.
Matius segera membuka noken di depannya. Dia mengaku terkejut karena badan bayi itu panas sekali. Dadanya turun-naik. "Saya tanya dia punya mama, apakah anak bayi masih minum ASI. Mamanya jawab sudah tiga hari tidak mau minum. Saya pegang dadanya, nafasnya cepat sekali. Saya lihat sudah kritis," ujar Matius.
Ia segera mengajak mereka segera turun ke Puskesmas Assologaima. "Tetapi kami baru jalan sekitar satu  jam. Sudah sampai Sungai Kimbim di bawah, tiba-tiba dia punya mama menangis di belakang. Anaknya sudah meninggal. Saya sedih sekali karena tidak bisa membantu anak bayi itu," kata Matius.
Sejak itu kata Matius, ia menjadi lebih rajin lagi menyampaikan tentang kesehatan. Dalam kesempatan warga berkumpul, entah dalam acara kematian, pertemuan kampung, pertemuan di distrik, berpapasan di jalan, atau dalam acara gereja, Matius selalu minta waktu untuk berbicara tentang kesehatan anak dan ibu hamil.
"Saya minta supaya anak bayi yang meninggal tidak terjadi lagi. Ibu-ibu hamil harus lapor supaya kita temani pergi periksa ke Puskemas atau pas ada Posyandu di sini. Kalau anak bayi sudah panas-panas sedikit, harus langsung bawa ke kader untuk dikasih obat," kata Matius.
Pesan Kesehatan
Matius adalah Ketua Majelis Gereja Bethel Dogoname . Gereja ini hanya berjarak 100 meter dari rumahnya. Karena itu setiap hari minggu, baik di dalam ibadat maupun setelah ibadat, Matius selalu menyampaikan pesan kesehatan kepada jemaat.
Menurut Matius, ia sedapat-dapatnya selalu menyampaikan pesan tentang kesehatan anak dan ibu hamil kepada anggota jemaat. "Selama ini kami terus di dampingi. Apa yang saya sampaikan seperti yang bidan dan dokter mereka ajar. Saya juga kasih tunjuk buku tentang anak bayi dengan ibu hamil," terang Matius.
Setelah peristiwa kematian balita dari Wame itu, Matius merasa  seolah-olah ia dikejar rasa bersalah. Ia tidak ingin lagi ada balita yang meninggal hanya karena orangtuanya belum tahu bahwa pertolongan pertama balita sakit bisa dilakukan oleh para kader.
Ia juga berpesan agar sesama anggota jemaat bisa saling mengingatkan. "Misalnya ada tetangga yang anaknya sakit agar diberitahu datang minta obat sama kader," ujar Matius.
Pesan ini, kata dia, telah dilakukan beberapa orang. Mereka bahkan menemani orang tua balita datang menemui Matius. Demikian juga dengan ibu hamil ketika ada Posyandu. Berita itu menyebar dari mulut ke mulut.
"Bahkan ada orang dewasa yang datang minta obat sama saya," kata Matius.
Dengan tenaga kesehatan yang langka, jarak ke puskesmas yang sangat jauh dan sarana transportasi yang belum lancar, para kader inilah yang menjadi ujung tombak kesehatan di wilayah Pegunungan Tengah Papua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H