Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Mati Ketawa Keliling Indonesia

1 November 2022   14:03 Diperbarui: 1 November 2022   14:11 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Gerson Poyk (Sumber: Tirto.id/Sabit)

Wartawan cum sastrawan Gerson Poyk (1931-2017) mengumpulkan catatan perjalanannya keliling Indonesia sejak tahun 1956 hingga 1990-an dalam sebuah buku setebal 308 halaman. Gerson memotret Indonesia dari berbagai sudut secara ringan,jenaka dan, kadang-kadang nakal. 

Laporannya merambah tempat yang paling mewah Istana Presiden di Jakarta hingga pojok-pojok terjorok dan tergelap di Sumatera dan Kalimantan. 

Dua catatannya, "Menyusur Jalan Daendels dan Sekitarnya" serta "Berkelana ke Padang Sabana Timor dan Sumba" diganjar hadiah Adinegoro secara berturut-turut, yakni tahun 1985 dan 1986. Adinegoro adalah penghargaan tertinggi untuk wartawan Indonesia karena karyanya.

Begitu tamat Sekolah Guru Atas (SGA) di Surabaya, Gerson menjadi guru selama dua tahun, 1956-1958 di Ternate. Tetapi entah kenapa dia membelot.

"Anak saya kena busung lapar karena gaji yang terlambat melulu," kata Gerson beralasan.

Pengalaman mengajar di Ternate dan Bima di NTB melahirkan Novel Sang Guru yang telah klasik. Novel ini meraih hadiah Sastra Asia Tenggara Sea Write Award tahun 1989.

Hadiah uang dari ajang ini dipakai Gerson membeli tanah yang cukup luas di Depok, Jawa Barat. Ia membangun rumah, tempat ia tinggal hingga akhir hayatnya.

Gerson tak pernah merencanakan perjalanan jurnalistiknya. Hal ini ia akui dalam banyak perbincangan kami semasa hidupnya.  Begitu ada keinginan ia berangkat saja, meski hanya dengan pakaian yang menempel di badan dan tanpa sepeser uang pun di kantong. 

Suatu kali Gerson berangkat dari Surabaya ke Sumatera, berganti-ganti truk sayur. Gratis. Setelah berkeliling dari Aceh, Medan, Gunungsitoli, ia hampir dibacok di Muaro Bungo. Gara-garanya sepele, kata Gerson. Ia  bercanda secara kelewatan soal harga segelas kopi yang menurutnya terlalu mahal.

"Sialan betul, padahal saya hanya bercanda saja, ha-ha-ha," Gerson ketawa mengenang lagi peristiwa itu.

Kalau ada koran atau majalah di daerah yang ia tuju,Gerson menyambanginya. Nama besarnya sebagai mantan wartawan Sinar Harapan, koran terbesar di Indonesia saat itu, membuatnya dikenal luas. Urusan jadi gampang.

"Saya datang ke redaksi. Pinjam mesin ketik lalu tak..tak..tak...Jadilah sebuah features yang menarik," ujarnya. Seperti biasa, Gerson minta honor dibayar di depan. Honor ini ia pakai untuk transport dan makan dalam perjalanan.

Saat Sukmawati Soekarno Putri menikah 1970, dunia ingin tahu bagaimana keadaan Bung Karno yang sudah setahun menjadi tahanan rumah. Wartawan dari dalam dan luar negeri penuh di depan rumah Ibu Fatmawati. Semua tidak boleh masuk. Bahkan Guntur menemui kesulitan. Kameranya direbut tentara berpakaian sipil. Gerson mendekat.

"Tidak boleh masuk!" bentak tentara, seperti dikisahkan Gerson.

Tetapi otak nakal Gerson bekerja. "Saya lihat ada dua penghulu yang masuk lewat gang belakang. Petugas tidak mengantar, hanya melambai menunjuk gang. Saya pura-pura saja menjadi intel yang antar mereka masuk ke dalam, he-he-he," Gerson menyeringai.

Ia berhasil masuk. Gerson melihat semua yang ada di dalam. Mulai dari ibu-ibu yang mencabuti bulu ayam hingga ranjang pengantin. "Saya lihat Bung Karno sedang naik tangga di pintu depan. Dua lututnya gemetar. Dia kelihatan gemuk sekali." Memang, ketika itu Bung Karno sedang menderita sakit ginjal yang akut. Tetapi tak boleh diobati. 

Menurut dr. Mahar Mardjono (1923-2002), Ketua Tim Dokter Kepresidenan pada zaman itu, ia hanya menyuntikkan obat anti nyeri kepada Soekarno karena obat jenis lain dilarang dimasukkan ke Istana.

Buku
Buku "Keliling Indonesia" (Sumber: Gramedia Digital) 
Sejam kemudian ia "ditelikung" keluar oleh intel beneran. Kawan-kawan wartawannya bersorak-sorak. Beberapa wartawan asing meneriaki Gerson, "I pay you, I pay you." Maksudnya, mereka mau membayar berita Gerson.

Lain waktu, setelah kembali mengikuti International Creative Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, AS, (1971-1972), Gerson melancong ke Timor Portugis. Kala itu, kata Gerson, Timor-Timur sedang bergolak soal berintegrasi ke Indonesia atau tidak. Tak ada wartawan yang bisa masuk sampai Dili. Semua terkena embargo di Kupang.

"Tetapi saya sudah patantang-petenteng selama tiga bulan di sana, dari Dili hingga Leutem," kata Gerson.

Ia menumpang truk dari Atambua. Sisa dollar dalam kantong ia pakai sewa mobil dan penginapan di Dili. Sopirnya seorang pemuda yang tidak bisa berbahasa Indonesia. 

Dalam buku ini Gerson bercerita panjang mulai soal kopi hingga nona-nona keturunan Porto yang cantik (hal. 90-108). Ia berkisah tentang Ramos Horta yang masih muda dengan pacarnya yang cantik. 

Gerson bercerita tentang truk yang disewa Signor Martinez, pedagang kopi, yang perjalanannya dikawal dua tentara muda Portugis. Ia berkisah tentang penduduk Timor Potugis yang apatis dan miskin.

Dalam laporan belasan halaman ini Gerson menggambarkan betapa kemiskinan dan kebodohan menjadi karib. "Mereka itu ibarat asu lear, anjing liar yang turun dari bukit dan kampung-kampung mencari makan, berkerumun di sebuah tempat urban bernama kota tanpa bekal pengetahuan yang memadai. 

Yang terjadi, mereka menjadi buruh kasar yang diperintah-perintah, dibentak-bentak, atau perempuannya menjadi pelacur atau diperkosa majikannya karena tanpa bekal pengetahuan yang baik," tulis Gerson. Tahun 1999 Timor-Timur melepaskan diri dari Indonesia melalui referendum.

Perihal sopir mobil sewaan tadi? Puluhan tahun kemudian,1997, rumah Gerson di Depok didatangi tentara. Ia diminta menghadap seseorang di RS Gatot Subroto Jakarta. Ternyata yang memintanya datang adalah Abilio Soares, Gubernur Timor-Timur yang sedang dirawat karena kanker usus.

"Saya dulu sopir Bapak dari Dili ke Leutem. Karena tidak bisa bahasa Indonesia saya diam saja," kata Abilio seperti ditirukan Gerson.

Pantas saja, kata Gerson, mantan Gubernur NTT Ben Mboy (1935-2015) mencak-mencak saat Abilio dilantik jadi gubernur. "Sopir kok jadi gubernur," kata Ben. Sayang, cerita ini tak masuk dalam buku Gerson.

Secara garis besar tulisan Gerson adalah keprihatinannya yang dalam terhadap pengangguran yang merajalela di Indonesia. Padahal menurut Gerson hal ini tak perlu terjadi bila orang mau kembali ke desa mengolah tanah untuk hidup.

"Kebutuhan maksimal kita untuk gizi terpenuhi dengan membuka ladang atau sawah. Kita ini sebenarnya punya bumi subur laut kaya tetapi kita berlomba-lomba menjadi kaum urban ke kota," kata Gerson. Ia sangat yakin bila kaum terpelajar Indonesia kembali ke desa maka pengangguran yang 40 juta orang ini akan teratasi.

Apa kekuatan tulisan Gerson? Dia menulis dengan gaya, yang saat ini kita kenal sebagai jurnalisme sastrawi. Data dan fakta ia sajikan dalam gaya menulis fiksi yang memikat. "Saya ini sastrawan yang wartawan, atau sebaliknya. Sebagai wartawan, fakta dan data tetap sakral, tetapi sebagai sastrawan saya memilih menyampaikannya dengan gaya menulis novel. Dengan begitu pesan saya sampai kepada pembaca," kata Gerson pada saya ketika itu.

Beberapa pengamat sastra menyejajarkan Gerson dengan Pramudya Ananta Toer dalam hal menulis laporan jurnalistik. Kandungan human interest mereka penuh.

"Pram yang meracuni pikiran saya," aku Gerson.

Tetapi bagi beberapa karibnya Gerson dinilai sosok yang tak pernah serius. Bercanda-canda saja kerjanya. Seperti cerita sastrawan Remy Sylado kepada saya: Suatu ketika Gerson datang ke sanggar 23761 punya Remy di Bandung. Gerson bercerita ia baru saja naik truk bermuatan kapuk dari Surabaya ke Flores dengan seorang pemuda Tionghoa penggila karya-karyanya. Begitu turun dari kapal di Labuan Bajo truk itu terguling. Kapuk berhamburan.

Gerson tak meneruskan ceritanya. Murid-murid Remy penasaran.

"Bagaimana pemuda itu, dia selamat ndak?" tanya mereka. Gerson, kata Remy, malah cengengas-cengenges sambil terus menyemburkan asap kreteknya.

"Menurut kalian cerpen saya ini menarik ndak?" Gerson balik bertanya. Esok hari cerpen tersebut terbit disalah satu harian di Bandung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun