Dalam laporan belasan halaman ini Gerson menggambarkan betapa kemiskinan dan kebodohan menjadi karib. "Mereka itu ibarat asu lear, anjing liar yang turun dari bukit dan kampung-kampung mencari makan, berkerumun di sebuah tempat urban bernama kota tanpa bekal pengetahuan yang memadai.Â
Yang terjadi, mereka menjadi buruh kasar yang diperintah-perintah, dibentak-bentak, atau perempuannya menjadi pelacur atau diperkosa majikannya karena tanpa bekal pengetahuan yang baik," tulis Gerson. Tahun 1999 Timor-Timur melepaskan diri dari Indonesia melalui referendum.
Perihal sopir mobil sewaan tadi? Puluhan tahun kemudian,1997, rumah Gerson di Depok didatangi tentara. Ia diminta menghadap seseorang di RS Gatot Subroto Jakarta. Ternyata yang memintanya datang adalah Abilio Soares, Gubernur Timor-Timur yang sedang dirawat karena kanker usus.
"Saya dulu sopir Bapak dari Dili ke Leutem. Karena tidak bisa bahasa Indonesia saya diam saja," kata Abilio seperti ditirukan Gerson.
Pantas saja, kata Gerson, mantan Gubernur NTT Ben Mboy (1935-2015) mencak-mencak saat Abilio dilantik jadi gubernur. "Sopir kok jadi gubernur," kata Ben. Sayang, cerita ini tak masuk dalam buku Gerson.
Secara garis besar tulisan Gerson adalah keprihatinannya yang dalam terhadap pengangguran yang merajalela di Indonesia. Padahal menurut Gerson hal ini tak perlu terjadi bila orang mau kembali ke desa mengolah tanah untuk hidup.
"Kebutuhan maksimal kita untuk gizi terpenuhi dengan membuka ladang atau sawah. Kita ini sebenarnya punya bumi subur laut kaya tetapi kita berlomba-lomba menjadi kaum urban ke kota," kata Gerson. Ia sangat yakin bila kaum terpelajar Indonesia kembali ke desa maka pengangguran yang 40 juta orang ini akan teratasi.
Apa kekuatan tulisan Gerson? Dia menulis dengan gaya, yang saat ini kita kenal sebagai jurnalisme sastrawi. Data dan fakta ia sajikan dalam gaya menulis fiksi yang memikat. "Saya ini sastrawan yang wartawan, atau sebaliknya. Sebagai wartawan, fakta dan data tetap sakral, tetapi sebagai sastrawan saya memilih menyampaikannya dengan gaya menulis novel. Dengan begitu pesan saya sampai kepada pembaca," kata Gerson pada saya ketika itu.
Beberapa pengamat sastra menyejajarkan Gerson dengan Pramudya Ananta Toer dalam hal menulis laporan jurnalistik. Kandungan human interest mereka penuh.
"Pram yang meracuni pikiran saya," aku Gerson.
Tetapi bagi beberapa karibnya Gerson dinilai sosok yang tak pernah serius. Bercanda-canda saja kerjanya. Seperti cerita sastrawan Remy Sylado kepada saya: Suatu ketika Gerson datang ke sanggar 23761 punya Remy di Bandung. Gerson bercerita ia baru saja naik truk bermuatan kapuk dari Surabaya ke Flores dengan seorang pemuda Tionghoa penggila karya-karyanya. Begitu turun dari kapal di Labuan Bajo truk itu terguling. Kapuk berhamburan.