Ini salah satu bab dalam biografi "Beta Papua, Kisah Hidup dan Pengabdian Chris Sohilait" yang terbit pada 2018 lalu. Chris Sohilait adalah Sekretaris Daerah Kabupaten Lani Jaya ketika itu, salah satu daerah "merah" di Pegunungan Tengah Papua. Ia berjarak 3 jam berkendara dari Wamena, Ibukota Kabupaten Jayawiya. Kontak senjata dengan OPM hal yang sering terjadi.
                                   =000=
PENGHUJUNG April 2014. Menjelang malam. Chris sedang berada di rumah dinas  Sekda di Tiom, Lani Jaya. Sebuah pesan pendek masukke telepon pintarnya. Dalam bahasa Lani.
"Ada seorang utusan dengan ciri-ciri yang disebutkan akan datang  ketemu saya," kata Chris menyalin isi pesan itu.Â
Chris memberi tahu para staf yang tinggal bersamanya bahwa  seseorang akan datang. Ia minta lampu teras dimatikan. Para staf tahu, jika Chris minta mematikan lampu di teras, berarti tamu "spesial"  yang akan berkunjung. Soalnya bukan sekali ini saja perintah seperti itu diberikan.
Berselang satu jam, tamu yang dimaksud datang. Seorang pemuda. Tak lebih dari 30 tahun usianya. Wajahnya penuh brewok. Otot-otot  lengannya menonjol. Ia memakai sepatu boot, celana selutut, dan t-shirt jersie klub sepakbola Persipura. Ia berbicara dalam bahasa Lani.
Pemuda ini mengaku diutus "Brigjen" Barnabas Telenggen, Komandan Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM) wilayah Makki Indawa. Kelompok ini menguasai gunung-gunung di sekitar Makki , kawasan yang terletak antara Tiom dan Wamena.
"Intinya Barnabas mo ketemu saya karena mereka mau adakan upacara bendera tanggal 1 Mei," kata Chris.
Tanggal 1 Mei biasanya diperingati oleh kelompok bersenjata sebagai hari aneksasi Papua Barat oleh Indonesia. Sementara sebaliknya, oleh pemerintah Indonesia, tanggal ini dianggap sebagai hari di mana Papua berintegrasi ke Indonesia pada tahun 1963.
Ada dua hari lain yang juga kerap diperingati, yakni tanggal 1 Juli (1971) yang dianggap sebagai hari Proklamasi kemerdekaan Papua dan dan tanggal 1 Desember (1961) sebagai hari Kemerdekaan Papua.
"Tiga hari di atas ini kita sudah harus was-was itu. Pasti ada saja kejadian,"kata Chris.
Lokasi pertemuan disepakati di sebuah bukit tak jauh dari kantor Distrik Indawa, sedikit di atas SD Unggulan Indawa. Jaraknya sekitar 4 kilometer dari Polsek Pirime.
Antara bukit dan tempat bertemu dipisah oleh lembah. Jalanan menurun, lalu mendaki. Bukit itu masih berupa hutan lebat. Jika dihitung, sekitar satu jam berjalan kaki dari jalan raya Tiom-Wamena.
Hari yang ditentukan, Chris dikawal satu regu brimob berjumlah dua puluh orang. Bersenjata lengkap. Tetapi Chris minta mereka cukup berjaga-jaga di sekitar SD Unggulan saja. Dia tidak mau dikawal sampai ke lokasi pertemuan. Namun Chris berpesan, jika dalam waktu dua jam ia belum turun, pasukan segera menyerbu ke atas. "Kalau dua jam saya belum muncul, silakan kalian serbu!" perintah Chris.
Entah apa yang ada dalam benak Chris saat itu. Apakah tidak ada rasa takut? Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan dirinya? "Orang bisa mati kapan saja kalau sudah diizinkan Tuhan. Kalau belum, bahkan peluru tembus kepala saja dia tidak mati," kata Chris yang kerap melihat tentara, polisi atau orang sipil yang ditembak oleh kelompok bersenjata.
 "Saya naik tanpa rasa takut," ujarnya.
Chris bersama dua ajudan sipil berjalan kaki ke arah bukit. Tanpa senjata. Bahkan sekadar pisau. Juga tidak pakai rompi anti peluru meskipun komandan regu meminta dengan sangat agar Chris  dan dua ajudannya memakai rompi.
"Komandan khawatir betul dengan keselamatan saya," kata Chris sembari tertawa ngakak. Memang, kalau sampai terjadi apa-apa dengan Chris, komandan regulah yang kena akibatnya.Â
Alasan Chris tidak memakai rompi karena terlalu berat. Tetapi terutama, kata dia, mereka datang dengan tujuan damai. "Saya datang memenuhi undangan mereka," ucap Chris.Â
Tiga puluh menit berjalan, pemuda yang menjadi penghubung mereka telah menunggu. Dia dikawal dua orang bersenjata laras panjang. Salah satunya menenteng senapan serbu. "Saya lihat itu dari jenis SS," kata Chris.
SS adalah inisial dari Senapan Serbu yang diproduksi oleh PT Pindad, dan menjadi senjata standar TNI dan Polri. Ada beberapa varian, antara lain SS1 dan SS2 dengan jarak tembak sekitar 500 meter. Senapan jenis ini bisa memuntahkan 700 peluru per menit. Beberapa pucuk SS berada di tangan kelompok ini sebagai hasil rampasan dalam beberapa aksi mereka menyerbu kantor polisi.
"Kenapa ko bawa pengawal? Kami bilang ko datang sendiri," sergah mereka melihat Chris datang dengan dua ajudannya.
"Saya ini pejabat negara. Protapnya saya harus dikawal. Lagipula mereka tidak bersenjata," jawab Chris.
"Kami hanya mau ko sendiri yang naik ke atas. Dua orang ini tinggal di sini," lanjut mereka. Chris mengalah. Dia bilang kepada dua ajudannya agar menunggu. Â Ia akan naik sendirian ke atas dikawal oleh mereka.
"Saya ulang lagi pesan saya kepada ajudan. Kalau dua jam saya belum pulang, silakan serbu," kata Chris.Â
Berjalan kaki sekitar 45 menit, mereka tiba di "markas" Barnabas Telenggen. Chris memperkirakan mereka sudah berada di sana antara 2-3 hari. Ranting pohon yang dijadikan atap honai sudah layu. Ada tumpukan kayu bakar. Jumlah mereka tak lebih dari 20 orang.  Chris menyapa dalam bahasa Lani. Beberapa orang datang mengulurkan  jari tangan. Chris mesti memasukkan jari telunjuknya yang dilipat di antara jari mereka, lalu ditarik dan berbunyi "klak". Salam khas Pegunungan Tengah.
"Mana Barnabas Telenggen? Dia mau negosiasi apa dengan pemerintah Indonesia?" tanya Chris.Â
"Jenderal tidak bisa ketemu orang sembarangan. Dia utus kami untuk sampaikan maksudnya," jawab salah satu dari mereka.
"Saya pimpinan di daerah ini. Jadi, saya hanya mau ketemu Barnabas. Kalau dalam waktu dua jam saya belum kembali, kalian akan diserbu," desak Chris. Chris minta mereka mengarahkan teropong ke SD Unggulan untuk membuktikan dia tidak sedang menggertak.
Sebenarnya regu brimob dan kelompok bersenjata sudah saling intai sejak awal. Kelompok ini sudah melihat satu regu brimob bersenjata lengkap dalam posisi siap serbu ke arah gunung.Â
Utusan Barnabas muncul. "Kami besok mo upacara bendera. Seluruh kelompok di Pegunungan Tengah akan ikut. Kami minta lapangan bola di dekat SD dikosongkan karena kami mo pake," kata utusan itu.
Chris terkesiap. Lapangan bola itu dekat dengan jalan raya dan permukiman warga. Kalau sampai kelompok ini diizinkan apel bendera di sana, baku tembak dengan TNI dan polisi tidak bisa dielakkan. Â
"Tidak bisa! Itu daerah terbuka. Kegiatan warga akan terganggu. Dan Pemerintah Republik Indonesia tidak akan izinkan kelompok mana pun yang berseberangan memakai fasilitas umum untuk upacara. Kalau lapangan dipakai upacara, kita akan kontak senjata," sergah Chris.
Utusan Barnabas, kata Chris, menarik napas. Ia jalan ke belakang menemui beberapa penasihatnya. Mereka berbincang dalam bahasa Lani. Chris tahu percakapan mereka.
Lalu, Chris menimpali, "Saya izinkan silakan upacara di gunung ini. Kalau lapangan tidak bisa! Tetapi batas sampai jam 12 siang.  Lewat dari itu, kami akan serbu kalian," ancam Chris.  Lalu, Chris turun.  Melihat lewat teropong Chris turun dengan selamat, komandan  regu brimob bisa bernapas lega.
 Keesokan harinya, sekitar pukul 10.00, Chris melihat bendera Bintang Kejora pelan-pelan dinaikkan. Lalu asap mengepul. Terdengar suara wok ... wok ... wok ... bersahutan. Rupanya mereka mengadakan pesta "bakar batu".
 "Tepat jam 12 saya lihat bendera sudah diturunkan. Lalu, asap mulai hilang. Berarti mereka sudah selesai dan bubar," kata Chris.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H