"Saya punya sekitar 50 ekor induk sekarang. Warga yang datang minta untuk pelihara pasti saya kasih dua-tiga pasang. Waktu ada acara di klasis, saya juga bawa kelinci sebagai persembahan," ujarnya.
Dengan kelinci pula Ayub dan seluruh anggota jemaatnya merayakan Natal bersama. Setelah ibadat Natal mereka berkumpul di halaman depan gereja dan berpesta daging kelinci.
"Saya sembelih sekitar 15 ekor saja," kata dia.
Kader MTBSM
Selain kader Posyandu, Ayub juga menjadi kader MTBSM (Manajemen Terpadu Balita Sakit Berbasis Masyarakat). Ia sering ikut pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh WVI di Wamena. Para kader MTBSM dilatih agar bisa mengobati Diare dan Pneumonia, dua penyakit penyebab kematian balita di Pegunungan Tengah.
"Kita selalu siapkan obat buat mencret dan batuk. Tapi yang susah adalah warga belum bisa hidup bersih dan masih tinggal di honai. Kalau bisa pemerintah bikin honai sehat ka, itu baru boleh," kata Ayub.
Tingkat sanitasi yang rendah di Pegunungan Tengah menjadi penyebab utama penyakit diare di kalangan bayi dan anak-anak. Warga misalnya belum semua memiliki jamban.
"Belum ada kebiasaan buang kotoran ke jamban. Kita juga belum biasa cuci tangan sebelum makan. Baru pulang dari ladang, tangan masih kotor langsung kasih makan anak. Pasti mencret-mencret itu," kata Ayub.
Sementara asap di dalam honai yang terus-menerus terhirup oleh balita menyebabkan penyakit pneumonia. "Kader selalu siapkan obat sebagai pertolongan pertama seperti cotry, zinc, oralit. Tapi itu hanya untuk membantu. Lalu sakit lagi. Kalau sudah parah kami segera rujuk ke Puskesmas atau rumah sakit di Wamena," jelas Ayub.
Sebagai kader, kata dia, mereka telah dilatih oleh WVI untuk melihat tanda-tanda bahaya pada balita dan ibu hamil. Ia juga selalu menyampaikan dalam setiap ibadat tentang pentingnya hidup sehat dan makan makanan bergizi.
"Untung ada WVI jadi kader terus belajar. Ada buku panduan. Kalau obat-obatan kami ambil dari puskesmas," kata Ayub.