Dari Wame kami jalan kaki menuju Assologaima, Jayawijaya, Papua. Sekitar 10 kilometer jaraknya. Tetapi malam segera turun ketika baru saja melewati sungai Kimbim. Tiba di jalan perkerasan menuju Assologaima, jarum jam sudah menunjuk pukul 19.00.
Mestinya sudah gelap. Karena tak satu pun yang membawa penerang, kami berjalan saja mengandalkan "mata" kaki. Tetapi justru hal ini yang melahirkan kekaguman. Langit di Pegunungan Tengah sangat terang. Bintang-bintang seperti ribuan lilin yang digantung di langit.Â
Udara berada di bawah 20 derajat. Sangat sejuk. Pepohonan, bukit-bukit dan stepa yang membentang di depan kami temaram. Tidak terang tidak gelap. Suasana yang sempurna, yang tidak mungkin ada di Jakarta.
Staf Wahana Visi Indonesia (WVI) Meki Tabuni, Elias Wenda dan Kunius Komba terus bercerita tentang daerah dampingan mereka. Kalau melakukan kunjungan ke lapangan, biasanya mereka naik sepeda motor sampai ke daerah yang tidak bisa lagi dimasuki. Motor dititip ke rumah warga dan mereka berjalan kaki.
 "Sudah biasa jalan kaki seperti ini," kata Konius yang rumahnya malam itu menjadi tempat kami menginap.
Karena kelelahan berjalan selama empat jam, tak terasa pagi tiba-tiba telah datang. Kami kembali bersiap jalan kaki. Kali ini lebih pendek, sekitar 3 kilometer untuk menemui Ayub Kogoya di Elaboge, Distrik Silokarno Doga.
Kampung Elaboge terletak di dataran yang landai di bawah bukit. Dari jalan raya yang menghubungkan Wamena-Tiom, kami perlu 30 menit berjalan kaki.
Dari jauh kampung ini tidak kelihatan sebab terhalang hutan. Sementara di sisinya yang lain adalah ladang milik warga yang sedang ditanami ipere dan sayur-sayuran.
Honai dibangun melingkar menyisakan halaman yang luas di tengahnya. Sebagai sentral, sebuah gedung gereja yang belum selesai dibangun.
Kami disambut di pintu pagar oleh Ayub Kogoya. Berjabat tangan ala Pegunungan Tengah, jari tangan dijepitkan lalu ditarik. Terdengar bunyi klak.
"Kami beribadat setiap minggu di sini," kata Ayub yang juga menjadi pemimpin jemaat Gereja Baptis Etikam, Elaboge. "Hanya 12 KK. Empat puluh tujuh jiwa," kata dia lagi.
Kader Posyandu
Ayub adalah kader Posyandu Kampung Elaboge. Kampung ini berada di bawah Puskesmas Silokarno Doga. Jarak ke Puskesmas tidak terlampau jauh. Hanya sejam berjalan kaki ke arah bawah.Â
"Saya kader Posyandu sejak pertama tinggal di sini pada tahun 2006. Terus WVI datang kasih kelinci untuk dikembangkan. Kemudian tahun 2011 saya jadi kader PMBA (Pemberian Makanan pada Bayi dan Anak)," jelas Ayub.
WVI memang membagikan bibit kelinci yang dikelola berkelompok. Ayub dan kelompoknya diberi 20 ekor induk kelinci kala itu. Tetapi, kata Ayub, yang hidup hanya 17 ekor induk. Empat bulan kemudian telah bertambah menjadi 30 ekor.
Pemberian bibit kelinci oleh WVI ini untuk dibudidayakan oleh masyarakat dengan sistem bergulir. Bibit yang sudah berkembang-biak akan dibagikan lagi terutama kepada para ibu yang mempunyai balita untuk dikembangbiakan dalam keluarga. Jika sudah berkembang, dipakai untuk memenuhi gizi keluarga.
"Satu induk bisa punya anak sampai 9 ekor. Asal diberi rumput yang bagus, pasti cepat sekali beranak dan banyak," kata Ayub.
Kandang kelinci dibuat berderet sepanjang 15 meter. Atapnya seng. Seperti rumah panggung. Jarak dari tanah ke atas sekitar satu meter agar kelinci aman dari binatang pemangsa. Setiap kotak berukuran 30x50 cm berisi satu atau dua ekor kelinci.
"Yang harus dijaga adalah pencuri dan tikus," kata Ayub sambil tertawa. Ayub pernah kehilangan puluhan ekor kelinci karena dicuri orang.
Setelah berkembang biak, Ayub mulai menggulirkan anak kelinci kepada anggota kelompok serta jemaatnya. Masing-masing ia beri 5 ekor.
"Saya minta mereka untuk pelihara dengan baik. Anak pertamanya jangan dipotong dulu. Kalau sudah beranak dua kali, sudah boleh dipotong buat tambah gizi keluarga," ujarnya.
Ayub melakukan hal yang sama. Ia kembangbiakan terlebih dahulu sebelum dipotong untuk menambah gizi keluarganya.
"Saya punya sekitar 50 ekor induk sekarang. Warga yang datang minta untuk pelihara pasti saya kasih dua-tiga pasang. Waktu ada acara di klasis, saya juga bawa kelinci sebagai persembahan," ujarnya.
Dengan kelinci pula Ayub dan seluruh anggota jemaatnya merayakan Natal bersama. Setelah ibadat Natal mereka berkumpul di halaman depan gereja dan berpesta daging kelinci.
"Saya sembelih sekitar 15 ekor saja," kata dia.
Kader MTBSM
Selain kader Posyandu, Ayub juga menjadi kader MTBSM (Manajemen Terpadu Balita Sakit Berbasis Masyarakat). Ia sering ikut pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh WVI di Wamena. Para kader MTBSM dilatih agar bisa mengobati Diare dan Pneumonia, dua penyakit penyebab kematian balita di Pegunungan Tengah.
"Kita selalu siapkan obat buat mencret dan batuk. Tapi yang susah adalah warga belum bisa hidup bersih dan masih tinggal di honai. Kalau bisa pemerintah bikin honai sehat ka, itu baru boleh," kata Ayub.
Tingkat sanitasi yang rendah di Pegunungan Tengah menjadi penyebab utama penyakit diare di kalangan bayi dan anak-anak. Warga misalnya belum semua memiliki jamban.
"Belum ada kebiasaan buang kotoran ke jamban. Kita juga belum biasa cuci tangan sebelum makan. Baru pulang dari ladang, tangan masih kotor langsung kasih makan anak. Pasti mencret-mencret itu," kata Ayub.
Sementara asap di dalam honai yang terus-menerus terhirup oleh balita menyebabkan penyakit pneumonia. "Kader selalu siapkan obat sebagai pertolongan pertama seperti cotry, zinc, oralit. Tapi itu hanya untuk membantu. Lalu sakit lagi. Kalau sudah parah kami segera rujuk ke Puskesmas atau rumah sakit di Wamena," jelas Ayub.
Sebagai kader, kata dia, mereka telah dilatih oleh WVI untuk melihat tanda-tanda bahaya pada balita dan ibu hamil. Ia juga selalu menyampaikan dalam setiap ibadat tentang pentingnya hidup sehat dan makan makanan bergizi.
"Untung ada WVI jadi kader terus belajar. Ada buku panduan. Kalau obat-obatan kami ambil dari puskesmas," kata Ayub.
Buku panduan MTBSM yang menjadi pegangan para kader dilengkapi dengan gambar dan tulisan yang mudah dimengerti. Setiap halaman dilegkapi dengan panduan praktis bagi kader jika menjumpai tanda-tanda kesakitan awal pada bayi dan ibu hamil.
Misalnya, jika bayi tidak mau minum ASI selama dua hari, apa yang harus dilakukan. Atau kalau tali pusarnya memerah dan bernanah, harus segera dirujuk ke Puskesmas dan lain-lain.
"WVI kasih kita buku. Ada gambarnya, jadi tidak sulit paham," kata Ayub lagi.
Satu hal yang Ayub inginkan adalah, pemerintah membuat rumah atau honai sehat.
"Kita di sini masalah sama terus, batuk-batuk karena asap honai. Kita kasih obat terus. Penyebabnya yang tidak diperhatikan. Kalau WVI tidak ada, pasti tidak ada fasilitator yang ketemu kami," bilang Ayub.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H