"Kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan adalah kejahatan luar biasa. Tidak bisa diselesaikan secara budaya dan agama. Pelakunya harus dihukum berat".
 Kasus kekerasan terhadap anak di Kabupaten Sumba Timur, NTT, dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.
Dalam Laporan Tahunan kepada Pemerintah Kabupaten Sumba Timur yang ditulis Yayasan Wahana Visi Indonesia (WVI) misalnya, pada tahun 2014 tercatat 14 kasus kekerasan terhadap anak, kemudian naik menjadi 23 kasus pada tahun 2015, lalu 53 kasus pada 2016, dan 237 kasus pada 2017, dan terus mengalami peningkatan pada tahun-tahun selanjutnya.Â
Dari berbagai kekerasan tersebut terdapat 17 kekerasan seksual pada 2015, 46 kasus pada 2016 dan 63 kasus pada 2017. Para pelaku adalah orang yang berada dekat dengan lingkungan anak yakni bapak kandung, kakek, paman dan sepupu.
"Sampai bulan Maret 2022 sudah 29 kasus kekerasan seksual yang laporannya masuk ke kami. Ada anak kandung yang diperkosa bapaknya sejak usia SD. Ada yang oleh pamannya dan sudah melahirkan. Sekarang yang kami tampung di Rumah Aman ini sebanyak 7 orang. Hampir semuanya inces," kata Mikael Moata, Pekerja Sosial Pelaksana Kabupaten Sumba Timur.
Rumah Aman yang dimaksud Mikael adalah dua unit bangunan di samping Taman Makam Pahlawan Waingapu. Tak jauh dari RSUD Umbu Rara Meha, Waingapu.
Rumah Aman menjadi langkah darurat sebab jika anak korban kekerasan seksual tetap berada di dalam keluarganya mereka akan tertekan, stres atau bahkan trauma.
Di Rumah Aman ini pula, kata Mikael, minimal mereka bisa melahirkan dengan nyaman dan mendapatkan penanganan medis dari dokter.
Dalam catatan, setidaknya baru pada tahun 2011 pembicaraan tentang pemenuhan hak anak menjadi perhatian serius ketika WVI memulai program pemenuhan dokumen Akta Lahir Anak dan menemukan di lapangan bahwa telah terjadi kekerasan seksual terhadap anak-anak.
"Baru pada zamannya WVI, terutama waktu Pak Amsal Ginting almarhum menjadi manajer, kita bicara soal pemenuhan hak anak dan dilakukan secara berjejaring. WVI mengejar akses pemenuhan hak anak sehinggga banyak orang tua mulai urus akta kelahiran anak-anak mereka dan melaporkan kalau ada kekerasan yang terjadi. Pemahaman tentang konsep perlindungan anak dalam konteks pemenuhan hak anak kemudian menjadi kerja bersama antara pemerintah, warga dan LSM. Saya pikir sebelum 2014 belum ada yang bicara soal hak anak dan kekerasan terhadap anak selain WVI," kata Mikael.
Baru pada saat WVI menjalankan programnya di Sumba Timur, kata dia, pendampingan dan pelatihan secara terstruktur dilaksana. Mereka pula yang mengadvokasi Peraturan Desa tentang Perlindungan Anak yang kemudian menjadi Peraturan Daerah (Perda) di kemudian hari.
"Banyak model pendampingan yang tinggal diambil saja dari WVI. Tetapi persoalan utama dalam pemerintahan menurut saya adalah birokrasinya. Karena mutasi yang sering dilakukan. Pemimpin baru pada lembaga yang mengurusi hal ini mesti mulai dari awal lagi. Juga soal pendanaan menjadi hal yang klasik," kata dia.
Strategi yang dilakukan WVI, menurut Sry S. Rambu Kaita, Koordinator Perlindungan Anak Area Program Sumba Timur, adalah membangun kesadaran warga.
Mereka turun ke desa-desa melakukan sosialisasi UU Perlindungan Anak dan tatacara membuat pelaporan jika terjadi kekerasan, serta sosialisasi dan pendampingan untuk pengasuhan positif pada 18 desa yang berada dalam wilayah dampingan.
"Hanya bisa pada 18 desa ini dari ratusan desa di Sumba Timur. Kami memilih pendampingan intensif selama 14 tahun melalui berbagai program. Kami membangun kesadaran dan warga memilih kader yang bisa dilatih. Mereka ini yang kami dampingi dan menjadi ujung tombak perlindungan anak di lapangan. Staf kami juga menetap di desa yang menjadi dampingan mereka," jelas Sry.Â
Pendampingan itu membuahkan hasil. Saat ini, menurut dia, ada tren warga datang melapor kepada mereka untuk minta didampingi ke kantor pemerintah atau polisi. Termsuk jika ada kasus yang sudah dilaporkan namun belum ada tindak lanjut.
"Sebelumnya, kasus kekerasan terhadap anak kami yang temukan di lapangan," ujarnya.
Jejaring Membuka KesadaranÂ
Tantangan memutus kekerasan anak di Sumba Timur adalah pandangan warga yang masih menganggap kekerasan terhadap anak adalah persoalan dalam rumah tangga. Tantangan berikutnya adalah faktor budaya.
"Kalau ada masalah kekerasan seksual terhadap anak, terkadang proses budaya ditempuh, yakni membayar denda berupa hewan 'tutup malu'. Persoalan dianggap selesai. Mereka tidak melihat dari sisi anak yang menjadi korban kekerasan. Ada trauma yang mendalam pada anak. Padahal ini sudah menjadi persoalan kriminal yang wajib dilaporkan dan mendapat penanganan aparat," ungkap Sry.
Persoalan kekerasan terhadap anak tidak bisa diselesaikan sendiri. Maka dibangun kemitraan dengan tokoh masyarakat, gereja dan pemerintah, untuk bersama-sama melakukan sosialisasi demi menekan dan menghapus kekerasan tersebut.
Tantangan berikutnya adalah menyediakan layanan untuk membantu anak korban kekerasan berupa perawatan kesehatan, dukungan psikososial, keamanan dan perlindungan hukum.
"Atas bantuan banyak pihak, sekarang sudah ada sebuah Rumah Aman untuk pemulihan korban kekerasan di dekat Kantor Dinas Sosial," jelas Sry.Â
Rumah Perlindungan Anak dan Perempuan Kabupaten Sumba Timur ini diresmikan oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA RI) I Gusti Ayu Bintang Darmawati, pada Kamis (4/8/2022) lalu.
Pada kesempatan itu Bupati Sumba Timur, Khristofel Praing mengungkapkan, dalam dua tahun terakhir pada 2021 tercatat 6 kasus yakni, kekerasan rumah tangga 19 kasus, pencabulan 39 kasus, bayi yang dibuang 2 kasus, penelantaran anak 2 kasus, kekerasan fisik 2 kasus.
"Sedangkan pada tahun 2022 dari bulan Januari sampai dengan bulan Juli tercatat 35 kasus yakni, KDRT 13 kasus, persetubuhan 16 kasus, kekerasan fisik 3 kasus dan penelantaran 3 kasus," ujarnya.
Pada saat yang sama, kata Sry, pemerintah harus terus melakukan sosialisasi untuk mengenali faktor penyebab terjadinya kekerasan.
Agar lembaga yang menanganinya bisa menyediakan sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan luas, terampil dan bersungguh-sungguh menolong korban dengan mengambil tindakan pencegahan yang efektif.
"Pemerintah harus ambil alih apa yang sudah kami lakukan selama ini. Ketika masyarakat sudah antusias, penyedia layanan harus siap. Sumber daya manusianya diperkuat. Beberapa hari yang lalu ketika masyarakat datang bikin pengaduan di salah satu Polsek, aparatnya justru tidak siap. Mereka bilang bahwa kasus kekerasan ini delik aduan. Harus orang tua atau kerabat anak itu yang datang melaporkan. Padahal siapa saja yang menyaksikan kekerasan itu wajib melaporkannya kepada pihak berwajib sebagai saksi pelapor," kata Sry pada awal April 2022 lalu.
Infrastruktur PendukungÂ
Anto Kila, Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kabupaten Sumba Timur, saya jumpai awal April 2022, mengatakan produk hukum yang menjadi landasan kerja perlindungan anak di Sumba Timur sudah memadai. Ketika membangun kemitraan dengan Pemerintah pada tahun 2014, lahir Peraturan Daerah (Perda) Perlindungan Anak. Dari Perda ini kemudian lahir Peraturan Desa (Perdes).
Pada tingkat yang lebih tinggi, ada produk hukum dari Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI). Lembaga ini aktif memperjuangkan dan memajukan hak-hak anak di seluruh Indonesia melalui pendampingan dan penanganan kasus, advokasi, publikasi dan monitoring. LPAI juga memiliki mitra LPA di tingkat provinsi, kabupaten dan kota di seluruh Indonesia.Â
Ada juga Peraturan Gubernur (Pergub) NTT tentang Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Pergub revitalisasi Kesehatan Ibu dan Anak dan beberapa regulasi terkait dengan advokasi kerja hukum.
 "Alat hukumnya kita sudah punya. Kesadaran hukum juga sudah lama kita bangun. Kalau bicara WVI setidaknya mereka sudah 14 tahun terakhir mendampingi warga. Masyarakat juga sudah paham, kalau ada masalah kekerasan mereka harus melapor ke mana dan bagaimana alurnya. Semua ini sudah terbangun di Sumba Timur. Kesenjangan kita adalah pada infrastruktur pendukungnya," kata Anto. Diperlukan sarana dan prasarana pendukung serta kemampuan sumberdaya manusia dan dana yang memadai dari Pemerintah Daerah.Â
Menurut catatan LPA, dalam lima tahun terakhir ini terdapat 180 kekerasan seksual yang terjadi di Sumba Timur. Kalau dibagi rata, kata Anto, setiap bulan terjadi tiga kasus kekerasan seksual.
"Melebihi semua jenis kejahatan.Kasus kriminal pencurian dan pembunuhan yang ditangani polisi tidak setinggi itu. Bulan lalu (Maret 2022) dari satu desa di bagian timur ada sembilan kasus kekerasan seksual. Sangat tinggi," urainya.
Angka yang tinggi ini mesti dibarengi dengan tersedianya infrastruktur yang memadai untuk bisa menampung dan menindaklanjuti laporan warga. Kapasitas aparat penegak hukum yang menerima laporan warga juga harus terus ditingkatkan.
"Kita belum bicara soal pemulihan korban. Sebab itu kita butuh shelter untuk pemulihan trauma. Harus ada psikolognya. Belum soal menjangkau mereka sebab korban biasanya berasal dari pedalaman, puluhan kilometer dari Waingapu. Sementara layanan psikologi ada di kota. Menjangkau mereka ini saja sudah satu masalah tersendiri. Beruntung sekarang sudah ada Rumah Pemulihan," kata Anto.
Menurut Anto, regulasi tidak akan bermanfaat selama belum dikampanyekan secara massif yang diharapkan menjadi budaya dalam masyarakat.
Dengan demikian, warga bisa membangun sendiri sistem perlindungan anak berbasis diri mereka. Tugas pemerintah dan jejaring adalah menyediakan infrastruktur yang cukup untuk mendukung apa yang sementara ini sudah dicapai masyarakat. Kepolisian, misalnya, kata dia, harus menanggapi isu-isu perlindungan anak secara profesional dan cepat.
"Jadi tidak percuma kita lapor kalo lama baru ambil tindakan atau tidak ditanggapi sama sekali. Kita dorong proses hukumnya supaya jalan. Kita juga dorong proses pemulihan agar hak anak terpenuhi. Dia mendapatkan kepastian hukum, di sisi lain dia dapat dipulihkan," kata dia.
LPA dan semua jejaring LSM di Sumba Timur, kata Anto, akan terus memberikan pemahaman kepada aparat penegak hukum bahwa kasus-kasus kekerasan seksual adalah kejahatan luar biasa yang tidak bisa diselesaikan dengan norma-norma sosial dan agama.
"Kekerasan seksual tidak bisa dimediasi untuk diselesaikan secara budaya dan agama. Kekerasan seksual adalah kejahatan luar biasa. Pelakunya harus dihukum berat, atau direhabilitasi jika masih anak-anak," tegasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H