Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sumba Timur Darurat Kekerasan terhadap Anak

12 Oktober 2022   07:21 Diperbarui: 21 Oktober 2022   19:03 869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi korban kekerasan anak. Sumber: Shutterstock via Kompas.com

Baru pada saat WVI menjalankan programnya di Sumba Timur, kata dia, pendampingan dan pelatihan secara terstruktur dilaksana. Mereka pula yang mengadvokasi Peraturan Desa tentang Perlindungan Anak yang kemudian menjadi Peraturan Daerah (Perda) di kemudian hari.

Stop Kekerasan Terhadap Anak (Dok. WVI)
Stop Kekerasan Terhadap Anak (Dok. WVI)

"Banyak model pendampingan yang tinggal diambil saja dari WVI. Tetapi persoalan utama dalam pemerintahan menurut saya adalah birokrasinya. Karena mutasi yang sering dilakukan. Pemimpin baru pada lembaga yang mengurusi hal ini mesti mulai dari awal lagi. Juga soal pendanaan menjadi hal yang klasik," kata dia.

Strategi yang dilakukan WVI, menurut Sry S. Rambu Kaita, Koordinator Perlindungan Anak Area Program Sumba Timur, adalah membangun kesadaran warga.

Mereka turun ke desa-desa melakukan sosialisasi UU Perlindungan Anak dan tatacara membuat pelaporan jika terjadi kekerasan, serta sosialisasi dan pendampingan untuk pengasuhan positif pada 18 desa yang berada dalam wilayah dampingan.

"Hanya bisa pada 18 desa ini dari ratusan desa di Sumba Timur. Kami memilih pendampingan intensif selama 14 tahun melalui berbagai program. Kami membangun kesadaran dan warga memilih kader yang bisa dilatih. Mereka ini yang kami dampingi dan menjadi ujung tombak perlindungan anak di lapangan. Staf kami juga menetap di desa yang menjadi dampingan mereka," jelas Sry. 

Pendampingan itu membuahkan hasil. Saat ini, menurut dia, ada tren warga datang melapor kepada mereka untuk minta didampingi ke kantor pemerintah atau polisi. Termsuk jika ada kasus yang sudah dilaporkan namun belum ada tindak lanjut.

"Sebelumnya, kasus kekerasan terhadap anak kami yang temukan di lapangan," ujarnya.

Jejaring Membuka Kesadaran 

Tantangan memutus kekerasan anak di Sumba Timur adalah pandangan warga yang masih menganggap kekerasan terhadap anak adalah persoalan dalam rumah tangga. Tantangan berikutnya adalah faktor budaya.

"Kalau ada masalah kekerasan seksual terhadap anak, terkadang proses budaya ditempuh, yakni membayar denda berupa hewan 'tutup malu'. Persoalan dianggap selesai. Mereka tidak melihat dari sisi anak yang menjadi korban kekerasan. Ada trauma yang mendalam pada anak. Padahal ini sudah menjadi persoalan kriminal yang wajib dilaporkan dan mendapat penanganan aparat," ungkap Sry.

Persoalan kekerasan terhadap anak tidak bisa diselesaikan sendiri. Maka dibangun kemitraan dengan tokoh masyarakat, gereja dan pemerintah, untuk bersama-sama melakukan sosialisasi demi menekan dan menghapus kekerasan tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun