Baru pada saat WVI menjalankan programnya di Sumba Timur, kata dia, pendampingan dan pelatihan secara terstruktur dilaksana. Mereka pula yang mengadvokasi Peraturan Desa tentang Perlindungan Anak yang kemudian menjadi Peraturan Daerah (Perda) di kemudian hari.
"Banyak model pendampingan yang tinggal diambil saja dari WVI. Tetapi persoalan utama dalam pemerintahan menurut saya adalah birokrasinya. Karena mutasi yang sering dilakukan. Pemimpin baru pada lembaga yang mengurusi hal ini mesti mulai dari awal lagi. Juga soal pendanaan menjadi hal yang klasik," kata dia.
Strategi yang dilakukan WVI, menurut Sry S. Rambu Kaita, Koordinator Perlindungan Anak Area Program Sumba Timur, adalah membangun kesadaran warga.
Mereka turun ke desa-desa melakukan sosialisasi UU Perlindungan Anak dan tatacara membuat pelaporan jika terjadi kekerasan, serta sosialisasi dan pendampingan untuk pengasuhan positif pada 18 desa yang berada dalam wilayah dampingan.
"Hanya bisa pada 18 desa ini dari ratusan desa di Sumba Timur. Kami memilih pendampingan intensif selama 14 tahun melalui berbagai program. Kami membangun kesadaran dan warga memilih kader yang bisa dilatih. Mereka ini yang kami dampingi dan menjadi ujung tombak perlindungan anak di lapangan. Staf kami juga menetap di desa yang menjadi dampingan mereka," jelas Sry.Â
Pendampingan itu membuahkan hasil. Saat ini, menurut dia, ada tren warga datang melapor kepada mereka untuk minta didampingi ke kantor pemerintah atau polisi. Termsuk jika ada kasus yang sudah dilaporkan namun belum ada tindak lanjut.
"Sebelumnya, kasus kekerasan terhadap anak kami yang temukan di lapangan," ujarnya.
Jejaring Membuka KesadaranÂ
Tantangan memutus kekerasan anak di Sumba Timur adalah pandangan warga yang masih menganggap kekerasan terhadap anak adalah persoalan dalam rumah tangga. Tantangan berikutnya adalah faktor budaya.
"Kalau ada masalah kekerasan seksual terhadap anak, terkadang proses budaya ditempuh, yakni membayar denda berupa hewan 'tutup malu'. Persoalan dianggap selesai. Mereka tidak melihat dari sisi anak yang menjadi korban kekerasan. Ada trauma yang mendalam pada anak. Padahal ini sudah menjadi persoalan kriminal yang wajib dilaporkan dan mendapat penanganan aparat," ungkap Sry.
Persoalan kekerasan terhadap anak tidak bisa diselesaikan sendiri. Maka dibangun kemitraan dengan tokoh masyarakat, gereja dan pemerintah, untuk bersama-sama melakukan sosialisasi demi menekan dan menghapus kekerasan tersebut.