Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tertib Sosial Dalam Sistem Kekerabatan Berlapis Warga Marapu di Kodi

31 Agustus 2022   09:35 Diperbarui: 31 Agustus 2022   09:42 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ritual penganut Marapu di Sumba (sumber: Travelink.com) 

Masyarakat penganut keyakinan Marapu di Kodi, Sumba Barat Daya, NTT memiliki dua jalur hubungan kekerabatan, yang akan ditelisik sebelum seorang perempuan dan laki-laki merencanakan perkawinan. Dua jalur ini sangat berpengaruh untuk menciptakan tertib sosial dalam masyarakat.

Pertama, jalur "parona" dari garis keturunan ayah (patrilinear). Kedua, jalur "walla" yang mengikuti garis keturunan ibu (matrilinear).

Parona

Secara garis besar seluruh wilayah Kodi yang kini menjadi bagian dari Kabupaten Sumba Barat Daya terbagi dalam tiga "kabihu" (suku) yakni:  Kodi Bokol (meliputi wilayah Kecamatan Kodi dan Kodi Utara); Kodi Bangedo, yang meliputi seluruh Kecamatan Kodi-Bangedo; dan Kodi Balaghar yang meliputi Kecamatan Kodi-Balaghar. Pemersatu ketiga suku ini adalah bahasa Kodi dan adat-istiadat yang sama.

Tiga kelompok suku di atas terbagi lagi atas beberapa subsuku yang ditandai oleh "parona" atau perkampungan. Kodi Bokol terdiri atas dua subsuku, yakni "Kabihu Pola Kodi" yang terdiri atas 22 buah parona dan "Kabihu Mbali Hangali" (16 parona). Kodi Bangedo terdiri atas dua subsuku, yaitu "Kabihu Mahemba" (6 parona) dan "Kabihu Pawungo" (10 parona). Sementara Kodi Balaghar tidak terbagi dalam subsuku, namun mereka memiliki 12 buah parona/perkampungan. Parona Ratenggaro yang kerap menjadi tempat para wisatawan berkunjung dan berswafoto itu termasuk dalam Kabihu Pawungo.  

Jika ayahnya berasal dari Parona Ratenggaro, maka anak-anaknya adalah bagian dari parona tersebut. Sementara sang ibu pasti berasal dari parona yang lain. Di kalangan warga Marapu,  anggota dari parona yang sama tidak boleh menikah. Sebab hubungan darah di antara anggota parona masih sangat dekat.

Walla

Secara harafiah "walla" berarti "bunga",  mengacu pada "berbunga" yakni dari garis keturunan ibu (matrilinear) yang dapat menyebarkankan "bunga" atau keturunan ke pelbagai penjuru. 

Walla menyandang nama pribadi seorang nenek moyang (misalnya walla Pati, Loghe, Mbera, dan sebagainya), atau daerah asal. "Walla" juga diberikan karena pelanggaran atas tabu tertentu (walla Gawi, walla Mandaho, dll) atau dinamai dari tanaman (walla "Ro Rappu", walla  "Cubbe") yang konon karena saat hamil sang ibu ngidam sayur dari jenis tanaman umbi-umbian ini. Ada juga walla "Kyula" terkait sejenis burung yang dipercaya ketika ia bersiul di atas bubungan rumah, sebagai pertanda kematian pada penghuninya.

Agar mudah dipahami saya memberi contoh. Ayah saya berasal dari Parona Bondo Kawango (Kabihu Mbali Hangali), mengikuti garis keturunan ayahnya, yakni kakek kami. Tetapi dia ber-walla Kataku mengikuti "walla" ibunya, yakni nenek kami yang ber-walla Kataku. Maka kami anak-anaknya bersekutu dalam Parona Bondo Kawango mengikuti garis keturunan dari pihak ayah. Kelak anak-anak saya juga demikian, mengikuti garis keturunan saya, dan seterusnya dan seterusnya. Tetapi anak-anak saya sudah tidak ber-walla sebab istri saya seorang perempuan Jawa.

Parona sebagai penanda garis keturunan secara patrilinear.

Sementara di pihak lain, Mama saya ber-walla Pati. Maka kedelapan anaknya berada dalam naungan "walla Pati". Orang yang memiliki "walla" yang sama atau walla-nya bersaudara tidak bisa menikah satu sama lain. Perempuan ber-walla Pati tidak bisa menikah dengan  lelaki ber-walla Pati, atau sebaliknya.

Selain akan terkena sanksi sosial, juga  diyakini perkawinan antara "walla" yang sama atau bersaudara akan terkena "kutukan" yang menyebabkan anak-anak yang dilahirkan mengalami cacat. Sebab darah rahim sang ibu akan bangkit sebagai tanda protes. Bisa menyebabkan demam tinggi dan pendarahan. Persalinannya akan sulit. Anak-anak akan terkena penyakit kronis. Bahkan kematian dapat terjadi.  Reaksi ini tidak dapat dimediasi dengan cara apa pun.

Bagian ini dapat dijelaskan secara ilmiah, sebab mereka yang ber-walla sama masih memiliki pertalian darah. Masih kerabat dekat. Mereka minimal masih bersaudara sepupu. Dan sering terjadi, juga di Kodi, ditemukan anak-anak dari perkawinan sedarah ini mengalami cacat fisik dan gangguan mental. Secara ilmu biologis bisa dijelaskan secara tegas  mengapa perkawinan antar kerabat tidak boleh dilakukan. Sebab pasangan yang memiliki hubungan darah juga memiliki DNA yang sama sehingga kemungkinan mereka membawa gen resesif yang sama menjadi sangat meningkat.

Larangan perkawinan pada pasangan yang satu "walla" ini juga sejalan dengan ajaran dalam Gereja Katolik yang melarang perkawinan sedarah. Karena itu, dalam kursus perkawinan yang diselenggarakan selama tiga bulan, ada penelitian Kanonik yang menjadi tahap akhir sebelum pasangan menerima Sakramen Perkawinan sebagai bukti sah sebagai suami-istri. Salah satu pokok yang diteliti adalah apakah pasangan ini masih memiliki hubungan darah yang dekat? Biasanya hubungan keluarga pada lapis ketiga yang diperbolehkan menikah. Pertanyaan utama lainnya: Apakah kalian saling memilih secara bebas atau karena paksaan orang tua? Perkawinan dengan dijodohkan apalagi dipaksakan tidak akan disetujui oleh Gereja Katolik.  

Meskipun demikian, ada kebiasaan perkawinan antara saudara sepupu (anguleba) yakni anak perempuan dari saudara laki-laki ibu, atau anak perempuan dari saudara perempuan ayah. Istilahnya "ambil anak Om".  

Perkawinan ini sering terjadi di Kodi (juga Sumba pada umumnya) karena adanya kebiasaan "mengembalikan" keturunan ke rumah dari mana ibu atau ayahnya datang (anak laki-laki akan kembali ke rumah dari mana ibunya datang, demikian pula sebaliknya. Istilah di Kodi adalah: Na doku a wewena, na bali a orona, mengikuti jejaknya, menelusuri kembali langkahnya. Untuk masuk kembali ke pintu dari mana sang ibu atau ayah "keluar"= Tama la binye oro loho, la lete oro mburu.

Dengan demikian sang cucu akan kembali ke "walla" kakeknya, sehingga meskipun ibunya tinggal di rumah dan desa yang terpisah, namun rumah tersebut kembali dikaitkan dengan garis keturunannya.

Yang membuat saya kagum adalah bahwa nenek-moyang penganut Marapu-seperti contoh di atas-sudah memiliki pengetahuan yang tinggi di bidang ini, bahkan jauh sebelum penemuan-penemuan ilmiah itu dipakai.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun