Sementara di pihak lain, Mama saya ber-walla Pati. Maka kedelapan anaknya berada dalam naungan "walla Pati". Orang yang memiliki "walla" yang sama atau walla-nya bersaudara tidak bisa menikah satu sama lain. Perempuan ber-walla Pati tidak bisa menikah dengan  lelaki ber-walla Pati, atau sebaliknya.
Selain akan terkena sanksi sosial, juga  diyakini perkawinan antara "walla" yang sama atau bersaudara akan terkena "kutukan" yang menyebabkan anak-anak yang dilahirkan mengalami cacat. Sebab darah rahim sang ibu akan bangkit sebagai tanda protes. Bisa menyebabkan demam tinggi dan pendarahan. Persalinannya akan sulit. Anak-anak akan terkena penyakit kronis. Bahkan kematian dapat terjadi.  Reaksi ini tidak dapat dimediasi dengan cara apa pun.
Bagian ini dapat dijelaskan secara ilmiah, sebab mereka yang ber-walla sama masih memiliki pertalian darah. Masih kerabat dekat. Mereka minimal masih bersaudara sepupu. Dan sering terjadi, juga di Kodi, ditemukan anak-anak dari perkawinan sedarah ini mengalami cacat fisik dan gangguan mental. Secara ilmu biologis bisa dijelaskan secara tegas  mengapa perkawinan antar kerabat tidak boleh dilakukan. Sebab pasangan yang memiliki hubungan darah juga memiliki DNA yang sama sehingga kemungkinan mereka membawa gen resesif yang sama menjadi sangat meningkat.
Larangan perkawinan pada pasangan yang satu "walla" ini juga sejalan dengan ajaran dalam Gereja Katolik yang melarang perkawinan sedarah. Karena itu, dalam kursus perkawinan yang diselenggarakan selama tiga bulan, ada penelitian Kanonik yang menjadi tahap akhir sebelum pasangan menerima Sakramen Perkawinan sebagai bukti sah sebagai suami-istri. Salah satu pokok yang diteliti adalah apakah pasangan ini masih memiliki hubungan darah yang dekat? Biasanya hubungan keluarga pada lapis ketiga yang diperbolehkan menikah. Pertanyaan utama lainnya: Apakah kalian saling memilih secara bebas atau karena paksaan orang tua? Perkawinan dengan dijodohkan apalagi dipaksakan tidak akan disetujui oleh Gereja Katolik. Â
Meskipun demikian, ada kebiasaan perkawinan antara saudara sepupu (anguleba) yakni anak perempuan dari saudara laki-laki ibu, atau anak perempuan dari saudara perempuan ayah. Istilahnya "ambil anak Om". Â
Perkawinan ini sering terjadi di Kodi (juga Sumba pada umumnya) karena adanya kebiasaan "mengembalikan" keturunan ke rumah dari mana ibu atau ayahnya datang (anak laki-laki akan kembali ke rumah dari mana ibunya datang, demikian pula sebaliknya. Istilah di Kodi adalah: Na doku a wewena, na bali a orona, mengikuti jejaknya, menelusuri kembali langkahnya. Untuk masuk kembali ke pintu dari mana sang ibu atau ayah "keluar"= Tama la binye oro loho, la lete oro mburu.
Dengan demikian sang cucu akan kembali ke "walla" kakeknya, sehingga meskipun ibunya tinggal di rumah dan desa yang terpisah, namun rumah tersebut kembali dikaitkan dengan garis keturunannya.
Yang membuat saya kagum adalah bahwa nenek-moyang penganut Marapu-seperti contoh di atas-sudah memiliki pengetahuan yang tinggi di bidang ini, bahkan jauh sebelum penemuan-penemuan ilmiah itu dipakai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H