Masyarakat penganut keyakinan Marapu di Kodi, Sumba Barat Daya, NTT memiliki dua jalur hubungan kekerabatan, yang akan ditelisik sebelum seorang perempuan dan laki-laki merencanakan perkawinan. Dua jalur ini sangat berpengaruh untuk menciptakan tertib sosial dalam masyarakat.
Pertama, jalur "parona" dari garis keturunan ayah (patrilinear). Kedua, jalur "walla" yang mengikuti garis keturunan ibu (matrilinear).
Secara garis besar seluruh wilayah Kodi yang kini menjadi bagian dari Kabupaten Sumba Barat Daya terbagi dalam tiga "kabihu" (suku) yakni: Â Kodi Bokol (meliputi wilayah Kecamatan Kodi dan Kodi Utara); Kodi Bangedo, yang meliputi seluruh Kecamatan Kodi-Bangedo; dan Kodi Balaghar yang meliputi Kecamatan Kodi-Balaghar. Pemersatu ketiga suku ini adalah bahasa Kodi dan adat-istiadat yang sama.
Tiga kelompok suku di atas terbagi lagi atas beberapa subsuku yang ditandai oleh "parona" atau perkampungan. Kodi Bokol terdiri atas dua subsuku, yakni "Kabihu Pola Kodi" yang terdiri atas 22 buah parona dan "Kabihu Mbali Hangali" (16 parona). Kodi Bangedo terdiri atas dua subsuku, yaitu "Kabihu Mahemba" (6 parona) dan "Kabihu Pawungo" (10 parona). Sementara Kodi Balaghar tidak terbagi dalam subsuku, namun mereka memiliki 12 buah parona/perkampungan. Parona Ratenggaro yang kerap menjadi tempat para wisatawan berkunjung dan berswafoto itu termasuk dalam Kabihu Pawungo. Â
Jika ayahnya berasal dari Parona Ratenggaro, maka anak-anaknya adalah bagian dari parona tersebut. Sementara sang ibu pasti berasal dari parona yang lain. Di kalangan warga Marapu, Â anggota dari parona yang sama tidak boleh menikah. Sebab hubungan darah di antara anggota parona masih sangat dekat.
Secara harafiah "walla" berarti "bunga", Â mengacu pada "berbunga" yakni dari garis keturunan ibu (matrilinear) yang dapat menyebarkankan "bunga" atau keturunan ke pelbagai penjuru.Â
Walla menyandang nama pribadi seorang nenek moyang (misalnya walla Pati, Loghe, Mbera, dan sebagainya), atau daerah asal. "Walla" juga diberikan karena pelanggaran atas tabu tertentu (walla Gawi, walla Mandaho, dll) atau dinamai dari tanaman (walla "Ro Rappu", walla  "Cubbe") yang konon karena saat hamil sang ibu ngidam sayur dari jenis tanaman umbi-umbian ini. Ada juga walla "Kyula" terkait sejenis burung yang dipercaya ketika ia bersiul di atas bubungan rumah, sebagai pertanda kematian pada penghuninya.
Agar mudah dipahami saya memberi contoh. Ayah saya berasal dari Parona Bondo Kawango (Kabihu Mbali Hangali), mengikuti garis keturunan ayahnya, yakni kakek kami. Tetapi dia ber-walla Kataku mengikuti "walla" ibunya, yakni nenek kami yang ber-walla Kataku. Maka kami anak-anaknya bersekutu dalam Parona Bondo Kawango mengikuti garis keturunan dari pihak ayah. Kelak anak-anak saya juga demikian, mengikuti garis keturunan saya, dan seterusnya dan seterusnya. Tetapi anak-anak saya sudah tidak ber-walla sebab istri saya seorang perempuan Jawa.
Parona sebagai penanda garis keturunan secara patrilinear.