Ketika padi menjadi idola, jenis pangan yang lain telah disingkirkan. Jagung, umbi-umbian, labu, dan bahan pangan lain selain padi sungguh menjadi anak tiri. Ubi kayu (singkong) Â di Kodi jarang diusahakan secara sengaja. Artinya ditanam berhektar-hektar dengan tujuan untuk disimpan sebagai bahan makanan. Tak pernah. Ubi ditanam dengan tujuan utama untuk makanan hewan atau babi. Demikian pula dengan jagung. Meskipun yang terakhir ini sudah ada satu-dua petani yang mengusahakannya dengan masif. Mereka kaya dari bertanam dan menjual jagung.
Padahal pada bulan-bukan tertentu di Kodi, manusia berbagi makan dengan hewan. Â Pakan hewan menjadi makanan manusia. Sungguh ironis!
"Pemain Baru yang Mengubah Irama Pertandingan"Â
Akhir tahun 1980. Kabupaten Sumba Barat belum mekar. Masih dalam masa pemerintahan Gubernur Hendrik Fernandez di NTT. Ada kebijakan menanam jambu mete. Terutama di Kodi dan Loura. Dua kecamatan ini dinilai memiliki lahan tidur yang masih luas. Kelak mereka menjadi bagian dari kabupaten yang baru: Sumba Barat Daya.
Jambu mete adalah "pemain baru". Belum ada petani yang menanamnya di Kodi waktu itu. Kalaupun ada, ia tumbuh liar di hutan atau di padang. Seperti pohon mlinjo. Tetapi kelak jambu telah menjadi idola baru yang mengubah irama "permainan" di Kodi.
Bibitnya didrop dalam jumlah sangat banyak. Dibagikan secara gratis kepada petani-petani. Puluhan ribu jumlahnya. Dibawa dalam truk-truk dari Pelabuhan Pantai Waikelo. Saya pikir dibibitkan terlebih dahulu di Paulau Jawa atau tempat lain sebelum didrop ke Sumba dan daerah lain di NTT.Â
Meskipun tak sepenuh hati menerimanya, para petani tak bisa melawan. Â Sebab melawan anjuran pemerintah Orde Baru kala itu bisa panjang akibatnya. Setiap keluarga mendapatkan 10-20 Â koker/polybag. Wajib ditanam. Meskipun dengan berat hati.
Tanpa panduan, Â warga menanam jambu mete pada lahan-lahan mereka yang subur. Â Padahal itu adalah ladang padi dan jagung. Â Puluhan atau bahkan ratusan pohon jambu mete ditanam di sana.
Beberapa tahun pertama tak ada masalah. Ia masih menjadi pohon penaung bagi padi dan jagung. Tapi lama-kelamaan jambu mete telah "merampok" seluruh lahan subur mereka. Ternyata pohon jambu ini menghisap unsur hara yang banyak dari tanah. Mestinya ia cocok ditanam dilahan-lahan kritis. Masyarakat Kodi tak lagi punya lahan yang luas untuk bertani padi dan jagung. Mereka dihimpit oleh jambu mete yang mulai bertumbuh besar.
Panen datang. Ternyata sekilo biji jambu mete dihargai lebih mahal daripada sekilo gabah kering. Warga senang tiba-tiba mendapat untung. Jambu mulai menjadi "anak emas". Setiap musim panen tiba, jambu mesti dijaga. Sebab maling mulai mengincarnya. Sejak itu warga  mulai lupa pada tanaman padi dan palawija. Sebab harga jambu mete lebih menguntungkan.
Beberapa tahun sejak panen perdana itu, kebanyakan masyarakat Kodi benar-benar telah lupa pada bertanam padi dan jagung yang telah menghidupi mereka sekian lama. Sebab 1-2 kg jambu mete bisa untuk menebus beberapa kilogram beras, dan masih ada sisa uang. Â Lahan pertanian padi dan palawija kian sempit. Apalagi pertumbuhan penduduk di Kodi termasuk salah satu yang tertinggi di tingkat nasional. Perluasan lahan pemukiman kian menyempitkan lahan pertanian.