Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ketahanan Pangan di Sumba: Ketika Umbi-Umbian Menjadi "Juru Selamat"

30 Agustus 2022   07:44 Diperbarui: 4 September 2022   20:55 1622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi umbi gembili. Sumber: Shutterstock/Teguh Jati Prasetyo via Kompas.com

Padi Menjadi Idola

Swasembada pangan yang dikumandangkan dari Jakarta oleh Pemerintah hanya berarti satu, yakni ketersediaan beras yang cukup di seluruh Indonesia. Kalau kurang, beras bisa diimpor dari negara tetangga. Polemik soal impor beras ini kerap terjadi. Juga ketika beras ditukar pesawat terbang.

Alat ukur kesejahteraan rakyat adalah ketersediaan beras. Atau kemampuan swasembada beras.

Soal swasembada pangan (beras) ini sampai juga ke Sumba. Paling aktual, Presiden Jokowi berhujan-hujan memegang payung ketika mengunjungi food estate di Sumba Tengah pada Februari 2021. Tak masalah. Itu tugas beliau sebagai kepala pemerintahan.

Kembali ke soal beras. Di Kodi, juga di Sumba pada umumnya, ia  menjadi idola. Kalau belum makan nasi dari beras, kami merasa  kurang bermartabat. Makan nasi dari beras lebih tinggi nilainya ketimbang ketika kita makan jagung, umbi-umbian, kacang-kacangan, berbagai sereal dan jenis makanan lainnya. Padahal nilai gizinya sama. Bahkan ada sereal (macam kamenggeho/Jali) nilai gizinya lebih tinggi.  

Orang Kodi malu mengatakan sudah "makan ubi" atau "makan jagung" ketika ditanya "Apakah sudah makan?". 

Juga dianggap sangat tidak bermartabat menyajikan ubi dan jagung kepada tamu, apalagi dalam pesta. Maka hewan ternak berupa babi, anjing, ayam, kerbau, sapi dan hewan lainnya dipelihara dan kelak bila dijual, untuk membeli beras. Jarang untuk membeli jagung, apalagi ubi.

Pagi Gogo (sumber:dok.Kementan) 
Pagi Gogo (sumber:dok.Kementan) 

Maka di Kodi, seperti juga di semua daerah di Indonesia, ukuran "makan" adalah makan nasi. Dalam konteks yang lebih luas, beras menjadi ukuran kesejahteraan.

Persis di titik ini muncul persoalan baru. Atas nama kesejahteraan, Pemerintah melalui dinas terkait mewajibkan beberapa jenis padi tertentu untuk ditanam. Misalnya IR 64. Konsekuensinya adalah disertai dengan pupuk kimia. Dua hal ini saja-bibit dan pupuk-berkelindan menjadi politik. Rumit sangat.

Padahal di Kodi, ada puluhan jenis padi lokal yang sudah dibudidayakan secara turun temurun. Berusia puluhan atau bahkan ratusan tahun. Termasuk padi gogo yang identik dengan daerah ini. Padi gogo  hasil ladang para petani dari Kodi terkenal wangi dan pulen ketika dimasak. Semua warga Sumba mengenalnya. Entah sekarang bibit lokal yang masih tersisa apa saja?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun