Masa "paddu" masih menurut Rahmat, akan berakhir pada pelaksanaan upacara "Halato Hemba Napu" yang dirayakan antara lain dengan atraksi paholong/pasola yang terkenal itu. "Halato Hemba Napu" adalah acara memetik buah-buahan seperti pinang, sirih, kelapa dan lain-lain, atau  pengumpulan hulu hasil seperti bahan pangan dan ternak oleh para rato ke semua parona sesuai dengan kelompok keturunan yang mengikuti garis ayah.
Namun di dalam masa "paddu" Â ada istilah "kabba we kapoke" semacam dispensasi, yakni untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang boleh dilakukan dalam masa "paddu" menjelang masa "kabba" atau profan.
"Karena berhubungan dengan persiapan menyambut upacara Nale/Nyale. Seperti orang boleh panen padi atau potong daun pandan dan menganyam tikar," jelasnya.
Puncak dari semua keramaian itu adalah pada ritual Nale. Orang Kodi dari agama apapun berbondong-bondong datang ke kampung besar (parona) sesuai garis keturunan ayahnya. Membawa beras dan ayam sebagai persembahan. Nanti dimasak dan dimakan bersama-sama dalam satu klan.
 Usai perayaan Nale, penganut Marapu masuk pada masa profan (wulla kabba), di mana pesta boleh digelar, tarik batu kubur bisa dilaksanakan dan lain-lain keramaian. Pada bulan Oktober atau November semua keramaian ini terhenti, untuk kembali masuk ke dalam "wulla paddu".
Satu siklus kehidupan telah berputar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H