Bagaimana masyarakat penganut Agama Marapu di Kodi, Sumba Barat Daya, NTT, Â membagi satu putaran musim dalam kehidupan mereka?
Memasuki bulan November hingga Januari tahun berikutnya, penganut Marapu di Kodi berada dalam "wulla paddu" atau masa sakral. Kata "paddu" secara harafiah berarti pahit. Kata ini diambil untuk menggambarkan larangan-larangan, yang tidak boleh dilakukan, yang "pahit".
Pada kurun ini para pemeluk Marapu tidak boleh menyelenggarakan pesta atau keramaian. Tidak boleh membunyikan gong dan tambur. Tidak boleh menyanyi. Tidak boleh memakai pakaian berwarna mencolok (merah), tidak boleh memetik buah yang belum matang dan tidak boleh memotong kayu bakar serta menumbuk padi pada malam hari. Bila larangan ini dilanggar, pemeluk Marapu percaya akan datang hukuman berupa penyakit yang menyerang manusia serta hama tikus atau belalang yang menyerang tanaman. Mereka hanya boleh bekerja membersihkan ladang dan sawah, kebun kelapa dan pelataran, menanam dan merawat tanaman.
Dalam masa paddu ini pula dilaksanakan upacara inisiasi bagi remaja putra dan putri yang sudah beranjak dewasa. Bagi remaja putra dikenal upacara "mbukka", Â dan "kamandulo" bagi remaja putri. Kedua upacara ini sebagai tanda seorang anak meninggalkan masa muda dan memasuki masa dewasanya.
Soal "mbukka" saya tidak punya informasi yang memadai. Walaupun dalam beberapa cerita disebut sebagai sunat gaya Kodi. Kulup kelamin anak laki-laki remaja dipotong, seperti sunat pada umumnya. Sebelum ia menyepi di pondok yang jauh dari pemukiman selama 40 hari. Saya minta informasi pada Bapak Frans W. Hebi (FWH). Beliau juga hanya secara samar-samar bercerita soal ini.Â
Yang FWH tahu pasti adalah sunat pada anak laki-laki suku Loli di Sumba Barat dan suku Kambera di Sumba Timur. Waktu saya ke Soe di Pulau Timor, saya menyaksikan remaja lelaki di "sifon". Sunat juga, tetapi secara tradisional. Kini sifon tradisional yang mensyaratkan berhubungan sex bagi yang sudah disunat dilarang  oleh gereja Katolik maupun Protestan di sana. Â
Sementara "kamandulo" adalah tato pada kaki dan tangan remaja putri yang menandakan mereka telah memasuki masa akil-balig dan siap untuk dilamar. Tato berupa garis naik-turun dari betis hingga paha dan pada pergelangan tangan hingga lengan.Â
Barangkali di kampung-kampung di Kodi masih bisa ditemukan perempuan bertato. Tentu usia mereka sudah tua. Bukan perempuan muda. Kalau pun ada perempuan muda bertato, bukan seperti kamandulo. Tetapi mungkin nama pacar. Atau gambar kupu-kupu. Atau simbol salib atau tanda yang lain.Â
Bagaimana jika terjadi pelanggaran selama masa "paddu"? Ada hukumannya. Disesuaikan dengan besar-kecil pelanggaran. Biasanya mereka harus minta ampun pada Marapu melalui Rato Marapu di kalimbyatu (dusun) dengan mengorbankan hewan.Â
Kalau kesalahannya besar, misalnya membunuh orang, ia tak boleh masuk parona, sebelum membuat silih atas dosanya. Nanti yang menentukan hewan kurban adalah Rato Marapu. Bisa hanya ayam, atau harus tikam babi.
Menurut Rahmat Ndara Japalangga, kawan saya yang secara khusus meneliti soal ini untuk merebut sarjana antropologi dari Universitas Gajah Mada, dulu masa "paddu" biasanya dimulai sejak bulan Oktober ketika puncak musim panas yang ditandai oleh bunyi retak pada bambu untuk bale-bale akibat suhu udara yang panas. Ini memang puncak musim panas di Kodi dan seluruh Sumba. Tapi resminya, menurut Rahmat, Â berdasarkan perhitungan Rato Nale.
Masa "paddu" masih menurut Rahmat, akan berakhir pada pelaksanaan upacara "Halato Hemba Napu" yang dirayakan antara lain dengan atraksi paholong/pasola yang terkenal itu. "Halato Hemba Napu" adalah acara memetik buah-buahan seperti pinang, sirih, kelapa dan lain-lain, atau  pengumpulan hulu hasil seperti bahan pangan dan ternak oleh para rato ke semua parona sesuai dengan kelompok keturunan yang mengikuti garis ayah.
Namun di dalam masa "paddu" Â ada istilah "kabba we kapoke" semacam dispensasi, yakni untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang boleh dilakukan dalam masa "paddu" menjelang masa "kabba" atau profan.
"Karena berhubungan dengan persiapan menyambut upacara Nale/Nyale. Seperti orang boleh panen padi atau potong daun pandan dan menganyam tikar," jelasnya.
Puncak dari semua keramaian itu adalah pada ritual Nale. Orang Kodi dari agama apapun berbondong-bondong datang ke kampung besar (parona) sesuai garis keturunan ayahnya. Membawa beras dan ayam sebagai persembahan. Nanti dimasak dan dimakan bersama-sama dalam satu klan.
 Usai perayaan Nale, penganut Marapu masuk pada masa profan (wulla kabba), di mana pesta boleh digelar, tarik batu kubur bisa dilaksanakan dan lain-lain keramaian. Pada bulan Oktober atau November semua keramaian ini terhenti, untuk kembali masuk ke dalam "wulla paddu".
Satu siklus kehidupan telah berputar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H