Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Makam "Rasul Maluku" di Belakang Soya, Ambon

25 Agustus 2022   06:20 Diperbarui: 25 Agustus 2022   07:26 1848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tugu Trikora di dekat Gereja Silo, Kota Ambon (foto:lex) 

Secara tak sengaja saya berjumpa Rudy Rahabeat di Stasiun Gondangdia, Jakarta Pusat pada Selasa (23/8/2022). Rudy kawan lama sejak dari Yogyakarta ketika ia menempuh studi Ilmu Religi dan Budaya di Universitas Sanata Darma untuk merebut gelar masternya. Kami berjumpa lagi di Jakarta ketika ia menempuh studi doktor untuk bidang antropologi di Universitas Indonesia. Setelah studinya selesai, Rudy Kembali ke Ambon dan terpilih sebagai Wakil Sekretaris Umum (Wasekum) Gereja Protestan di Maluku (GPM) dalam sinode beberapa waktu lalu.

"Bung Lex, saya sekarang masuk ke dalam sistem," ujarnya sembari tertawa.

Posisi sebagai Wasekum telah mengantarnya berkeliling ke pulau-pulau kecil di Maluku di mana gereja-gereja anggota sinode GPM berada. Kunjungan ke jemaat-jemaat itu sebagai kunjungan untuk memberi peneguhan dan menularkan semangat agar terus berkarya.

Sinode GPM meliputi wilayah Provinsi Maluku yang terdiri atas Pulau Buru, Seram, Ambon, Saparua, Haruku dan Nusalaut, Pulau-pulau Banda, Kepulauan Kei, Kepulauan Aru (Dobo), Tanimbar, Babar, Leti-Moa-Lakor, Kisar hingga Wetar, dan Provinsi Maluku Utara yang terdiri atas pulauTernate, Pulau-pulau Bacan, Pulau-pulau Obi, dan Kepulauan Sula.

"Ternyata kita tidak bisa hidup sendiri. Ada liyan, yakni orang lain di sekitar kita. Dari mereka kita bisa menjalin kebersamaan untuk menghadapi persoalan-persoalan sosial yang ada. Kita tidak bisa jalan sendiri," simpul Rudy.

Rudy pula yang mengajak saya siang itu di Ambon untuk datang ke Gereja Josef Kam di Jalan Rijali, Belakang Soya, Kota Ambon.

"Kalau bisa kita makan siang di sini saja," ujarnya dari seberang telepon.

Begitu tiba di Belakang Soya itu saya terhenyak melihat ada patung malaikat di pintu masuk gereja. Satu di sebelah kiri dan yang lain di kanan. Tangan mereka terangkat seperti memberi berkat.

"Beta pikir hanya di Gereja Katolik saja yang pasang  patung di depan gereja," ujar saya.

Rudy tersenyum.

Berada di ketinggian, menara gereja Josef  Kam segera tampak dari jauh. Pada puncak menaranya ada patung ayam jago yang sedang berkokok. Saya bertanya kepada Rudy soal replika ayam jago di pucuk gereja itu.

"Artinya ada dua. Mengingatkan gereja agar tidak  menyangkal Yesus seperti kisah Petrus dalam Injil, dan kedua, menegaskan kebenaran  Kitab Ratapan  3:22-23 bahwa kasih setia Tuhan selalu baru tiap pagi. Ayam berkokok saat pagi tiba," jelas Rudy.

Rudy,  antara  tahun 2007- 2011 menjadi pemimpin jemaat di gereja Josef Kam, sebelum ia melanjutkan studinya ke Yogyakarta itu. 

Makam Josef Kam yang dijuluki "Rasul Maluku" terdapat di bagian depan gereja, di sebelah kiri dari gerbang, di taman yang luas. Tak ada pagar yang membatasi taman dan gereja. Makam itu berbentuk seperti kotak persegi  dengan empat buah lampu di setiap sudutnya. Pada dinding depannya "ditempel" tiga buah plakat dari tembaga dalam bahasa Belanda yang menjelaskan tahun kelahiran, kematian serta karya Kam di Ambon. 

Makam Penginjil Yosef Kam di Belakang Sonya, Ambon (foto:lex) 
Makam Penginjil Yosef Kam di Belakang Sonya, Ambon (foto:lex) 
Tentang Josef Kam (1769-1833)  dari lembaga Nederlansch Zendeling Genootschap (NZG),  saya temukan ketika sedang menelusuri sejarah penginjilan di Jawa Timur untuk proses penulisan buku sejarah sebuah jemaat Protestan di Jakarta.  

Kala itu, tahun 1815, sembari menunggu kapal laut ke Ambon, Maluku, Josef Kam sempat mendirikan jemaat di Surabaya, yang belakangan pemeliharaannya diserahkan kepada Johannes Emde, bekas tentara zaman Gubernur Jenderal Daendels.

Di Kawasan Jawa Timur memang sudah ada beberapa jemaat yang dibangun oleh penginjil Belanda. Antara lain di Ngoro di daerah Mojokerto oleh dengan Coenraad Laurens  Coolen (1775-1873), seorang Kristen Indo-Belanda yang mendapat hak membuka belantara di sana menjadi pemukiman dan tanah pertanian, cikal-bakal Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) kelak. Emde dalam beberapa hal bertentangan Coolen. Emde teguh pada pengajaran Gereja Belanda. Sementara Coolen mencampurkan ajaran Kristen dengan adat-istiadat Jawa. Ia seorang Protestan kejawen.

Saat berdiri di depan makam Yosef Kam di tengah Kota Ambon itu saya teringat lagi percakapan dengan sastrawan Remy Sylado di Jakarta.  Tentang sejarah penginjilan di Hindia Belanda. Juga tentang penginjil Josef Kam.

Remy membuka ceritanya dengan kegusaran. Ia jengkel terhadap pendeta yang berkhotbah memakai bahasa Inggris di televisi, padahal sudah dua puluh tahun bermukim di Indonesia.

"Pakai Inggris-Amerika yang kereseh-peseh," ujarnya gusar.

Remy khatam belajar Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru di STT Jaffray milik Gereja Baptis di Semarang. Ia mengatakan,  "Salah satu identitas budaya sebuah bangsa adalah bahasanya. Para pendeta Belanda dan Jerman yang berpandangan teologi pietisme saja menjadi bagian dari Indonesia, dengan memakai bahasa Indonesia dalam penginjilan mereka. Mengapa di zaman yang sangat modern orang tidak belajar bahasa Indonesia tetapi justru berkhotbah dengan bahasa Inggris di televisi?" ujarnya.

Para pendeta seperti Cornelis Ruyl (1629), Daniel Brouwerius (1688), berlanjut ke Melchior Leijdecker (1733), kemudian Hillebrandus Cornelius Klinkert(1875) melakukan syiar Injil dengan menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Melayu yang menjadi bahasa pengantar sehari-hari. Lalu  Josef  Kam ikut mengajar bahasa Melayu di Ambon (1815).

 Hampir seabad sebelum Ruyl, yakni tahun 1542, Fransiscus Xaverius (FX), tiba di Malaka, belajar bahasa Melayu, dan menerjemahkan Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman Rasuli, Sepuluh Perintah Allah, dan Salam Maria ke dalam bahasa Melayu.  Dengan empat pustaka gerejawi ini FX telah melaksanakan syiar Injil di Maluku di bawah panji Serikat Yesus.

Pada masa-masa awal berada di Jakarta, pada tahun 2009, saya kerap bertandang ke rumah Remy di Cipinang Muara, Jakarta Timur. Wawasannya luas; mulai dari teologi, musik, filsafat hingga sejarah.

 ***

Ahli sejarah gereja, Frederick  Djara Wellem, dalam buku Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh Dalam Sejarah Gereja (BPK Gunung Mulia, cet. ke-13, 2015)  menuliskan, Josef Kam menjadi seorang pengabar Injil yang menyuntikkan semangat baru ke dalam tubuh jemaat-jemaat di Maluku  setelah ditelantarkan  usai bubarnya kongsi dagang VOC pada tahun 1799.

Gong Perdamaian di dekat alun-alun Kota Ambon (Foto:Lex) 
Gong Perdamaian di dekat alun-alun Kota Ambon (Foto:Lex) 

Kam tiba di Maluku pada bulan Maret 1815. Ia memulai pekerjaannya dengan mengadakan kunjungan ke jemaat-jemaat di Ambon, Haruku, Seram selatan dan Saparua. Dalam kunjungannya itu, ia berkhotbah, membaptis orang, melayani Perjamuan Kudus dan memperdamaikan pertengkaran-pertengkaran yang terjadi. Pada tahun yang sama Kam melangsungkan pernikahannya dengan seorang gadis Indo-Belanda, Sarah Timmerman, yang dengan setia mendampingi Kam dalam pekerjaannya di Maluku.

Kam terus-menerus mengadakan kunjungan ke seluruh kepulauan Maluku, bahkan sampai ke Minahasa, Sangir-Talaud (Sulawesi Utara), dan Timor.  Kam mengadakan perjalanan keliling mengunjungi jemaat-jemaat sampai suatu saat ia sakit keras dalam perjalanannya ke Maluku Tenggara. Ia terpaksa kembali ke Ambon. Segala usaha untuk menyelamatkan jiwanya tidak berhasil. Josef Kam meninggal pada tanggal 18 Juli 1833 setelah berkarya selama 20 tahun lamanya di Maluku. Ia tidak saja memelihara jemaat di sana, tetapi juga mendidik ratusan guru dan guru injil yang melakukan Pekabaran Injil ke Papua, Sulawesi dan Timor.

Rudy (kiri) dan penulis bertemu di Stasiun Gondangdia, Jakarta (Dokpri) 
Rudy (kiri) dan penulis bertemu di Stasiun Gondangdia, Jakarta (Dokpri) 

Salah satu keinginan saya yang belum terpenuhi adalah berkeliling ke pulau-pulau kecil di Maluku. Juga Lemola. Dari Kupang naik kapal Pelni. Hingga Miangas!***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun