"Artinya ada dua. Mengingatkan gereja agar tidak  menyangkal Yesus seperti kisah Petrus dalam Injil, dan kedua, menegaskan kebenaran  Kitab Ratapan  3:22-23 bahwa kasih setia Tuhan selalu baru tiap pagi. Ayam berkokok saat pagi tiba," jelas Rudy.
Rudy,  antara  tahun 2007- 2011 menjadi pemimpin jemaat di gereja Josef Kam, sebelum ia melanjutkan studinya ke Yogyakarta itu.Â
Makam Josef Kam yang dijuluki "Rasul Maluku" terdapat di bagian depan gereja, di sebelah kiri dari gerbang, di taman yang luas. Tak ada pagar yang membatasi taman dan gereja. Makam itu berbentuk seperti kotak persegi  dengan empat buah lampu di setiap sudutnya. Pada dinding depannya "ditempel" tiga buah plakat dari tembaga dalam bahasa Belanda yang menjelaskan tahun kelahiran, kematian serta karya Kam di Ambon.Â
Tentang Josef Kam (1769-1833) Â dari lembaga Nederlansch Zendeling Genootschap (NZG), Â saya temukan ketika sedang menelusuri sejarah penginjilan di Jawa Timur untuk proses penulisan buku sejarah sebuah jemaat Protestan di Jakarta. ÂKala itu, tahun 1815, sembari menunggu kapal laut ke Ambon, Maluku, Josef Kam sempat mendirikan jemaat di Surabaya, yang belakangan pemeliharaannya diserahkan kepada Johannes Emde, bekas tentara zaman Gubernur Jenderal Daendels.
Di Kawasan Jawa Timur memang sudah ada beberapa jemaat yang dibangun oleh penginjil Belanda. Antara lain di Ngoro di daerah Mojokerto oleh dengan Coenraad Laurens  Coolen (1775-1873), seorang Kristen Indo-Belanda yang mendapat hak membuka belantara di sana menjadi pemukiman dan tanah pertanian, cikal-bakal Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) kelak. Emde dalam beberapa hal bertentangan Coolen. Emde teguh pada pengajaran Gereja Belanda. Sementara Coolen mencampurkan ajaran Kristen dengan adat-istiadat Jawa. Ia seorang Protestan kejawen.
Saat berdiri di depan makam Yosef Kam di tengah Kota Ambon itu saya teringat lagi percakapan dengan sastrawan Remy Sylado di Jakarta. Â Tentang sejarah penginjilan di Hindia Belanda. Juga tentang penginjil Josef Kam.
Remy membuka ceritanya dengan kegusaran. Ia jengkel terhadap pendeta yang berkhotbah memakai bahasa Inggris di televisi, padahal sudah dua puluh tahun bermukim di Indonesia.
"Pakai Inggris-Amerika yang kereseh-peseh," ujarnya gusar.
Remy khatam belajar Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru di STT Jaffray milik Gereja Baptis di Semarang. Ia mengatakan, Â "Salah satu identitas budaya sebuah bangsa adalah bahasanya. Para pendeta Belanda dan Jerman yang berpandangan teologi pietisme saja menjadi bagian dari Indonesia, dengan memakai bahasa Indonesia dalam penginjilan mereka. Mengapa di zaman yang sangat modern orang tidak belajar bahasa Indonesia tetapi justru berkhotbah dengan bahasa Inggris di televisi?" ujarnya.
Para pendeta seperti Cornelis Ruyl (1629), Daniel Brouwerius (1688), berlanjut ke Melchior Leijdecker (1733), kemudian Hillebrandus Cornelius Klinkert(1875) melakukan syiar Injil dengan menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Melayu yang menjadi bahasa pengantar sehari-hari. Lalu  Josef  Kam ikut mengajar bahasa Melayu di Ambon (1815).
 Hampir seabad sebelum Ruyl, yakni tahun 1542, Fransiscus Xaverius (FX), tiba di Malaka, belajar bahasa Melayu, dan menerjemahkan Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman Rasuli, Sepuluh Perintah Allah, dan Salam Maria ke dalam bahasa Melayu.  Dengan empat pustaka gerejawi ini FX telah melaksanakan syiar Injil di Maluku di bawah panji Serikat Yesus.