Orang Bali-Kristen yang di "selong" kemudian bermukim di daerah yang kini mencakup dua desa yakni Blimbingsari yang seluruh penduduknya beragama Protestan  dan bersekutu dalam Sinode Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB) serta Palasari yang menganut agama Katolik.
GKPB hanya beranggotakan 14 ribu anggota jemaat. Tetapi mereka memiliki aset berupa tanah, bangunan dan sekolah di 80 lokasi di seluruh Bali dan Nusa Penida yang angkanya mencapai ratusan miliar rupiah. "Tidak besar sekali, tetapi cukuplah untuk kami bisa bergerak melayani," Nengah Suama Sekretaris Umum Sinode GKPB merendah.
***
Dari kantor Yayasan Maha Bhoga Marga (MBM) milik Sinode GKPB di Jalan Raya Kapal di Mengwi, sisi barat Denpasar, jalan mulai menyempit di sana-sini. Padahal, ini jalan utama yang menghubungkan Gilimanuk-Denpasar yang penuh truk gandeng dan bus kota antar provinsi, baik dari Bali maupun  Jawa.
Saat matahari seperti mengejar punggung kami, I Wayan Nengah telah menginjak gas dalam-dalam.
"Paling lama tiga jam kita sudah sampai Blimbingsari," ujarnya memberi jaminan.
Kami mengikuti saran Wayan Tunas, pengelola penginapan MBM untuk berangkat pagi-pagi agar  tidak kena macet saat berangkat maupun ketika pulang ke Denpasar nanti.Â
"Tak kalah sama Jakarta kalau sudah macet," kata Wayan Tunas.
Wayan Tunas asli Blimbingsari, pemeluk Protestan generasi kedua dari Bali. Sementara  I Wayan Nengah orang Klungkung.
Untuk bisa membedakan Wayan Tunas, Â Wayan Nengah, Â Nengah Suama, saya mesti berpikir sejenak.
 Sekitar dua jam kemudian. Tiba-tiba saja Wayan Nengah yang suka bercerita tentang tempat-tempat yang kami lewati berbelok ke kanan, menapak jalan beraspal mulus, melewati gerbang desa: Rahajeng Rawuh Ring Blimbingsari.  Selamat Datang di Blimbingsari.