Kampung Wunga yang diyakini sebagai kampung pertama orang Sumba sebelum menyebar ke seluruh pulau, terletak di Kecamatan Haharu, berjarak 63 Km dari Waingapu, ibukota Kabupaten Sumba Timur.Â
Wunga berasal dari kata "kawunga", yang dalam bahasa Sumba (antara lain Kambera dan Kodi) berarti "asal" atau "mula-mula".
Menurut kisah, nenek-moyang orang Sumba melakukan perjalanan dari tanah Asia dengan menyeberang Selat Malaka, kemudian ke Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, hingga Sumba.Â
Dari Flores mendarat di Tanjung Sasar dan mendirikan kampung pertama di Wunga, sebelum menyebar ke bagian barat dan timur pulau ini.
Budayawan Sumba Frans W. Hebi (FWH) Â mengatakan, sebelum kedatangan nenek moyang di Sumba, sudah ada penghuni lama yang sampai terlebih dahulu.Â
Dalam kisah lisan disebutkan, kata FWH, penghuni awal belum mengenal api sehingga semua makanan dimakan mentah. Mereka dikenal sebagai "to marang" (Kodi, Sumba Barat Daya) atau "mamarung" (Sumba Timur) dan sering disalahartikan sebagai suanggi.
Pada bulan-bulan tertentu, biasanya setelah panen pada bulan Maret dan April, Â pada beberapa suku di Sumba melakukan upacara khusus mendaraskan kisah asal-usul penduduk Sumba yang disebut "Pali'i Marapu" (hikayat suci), diselingi dengan tabuhan gong dan tambur:
"...Di pantai utara di mana daratan pulau kita masuk ke laut,Â
di sanalah mereka, nenek-moyang kita menjejakkan kakinya..."
Kebenaran Wunga sebagai kampung pertama nenek-moyang orang Sumba dikukuhkan oleh penelitian genetika yang dilakukan oleh antropolog dari Universitas Arizona, Stephen Lansing, dan tiga peneliti genetika Lembaga Biologi Molekuler Eijkman-Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Herawati Sudoyo Supolo, Gludhug Ariyo Purnomo, dan Isabella Apriyana, yang mengumpulkan kisah itu untuk melengkapi studi mereka tentang asal-usul dan diaspora orang Sumba.
"Bisa jadi kisah ini bercampur aduk dengan pengetahuan baru yang datang belakangan. Migrasi nenek moyang orang Sumba sudah ribuan tahun, bagaimana mereka bisa mengingatnya?" kata Lansing skeptis tentang cerita lisan yang ia dengar seperti dikutip dari Kompas.com [1].
"Jika pun benar, cerita ini kemungkinan versi penutur Austronesia," kata dia lagi.
Sekalipun bersikap skeptis, Lansing tetap menghormati pengetahuan lokal orang Sumba ini. Apalagi riset genetika telah memberikan titik terang tentang teka-teki asal-usul orang Sumba.
Pembauran genetika
Lembaga Biologi Molekuler Eijkman mulai melakukan penelitian di Sumba pada tahun 2007 dengan memakai marka Y-kromosom.
"Tahun 2007 kami telah mengambil sampel genetika dan memetakan diaspora bahasa masyarakat di Pulau Sumba," ujar Herawati.
Penelitian menggunakan marka Y-kromosom (penanda genetika lelaki) itu menemukan, genetika orang Sumba memiliki haplogrup (kelompok motif genetik) C, K, M, dan O.
Motif C selama ini banyak ditemukan di Indonesia bagian timur dan menjadi penanda genetika orang Papua yang merupakan kelompok migrasi pertama dari Afrika dan diperkirakan tiba di Nusantara sekitar 50.000 tahun lalu.Â
Motif O dimiliki penutur Austronesia yang datang dari Formosa, Taiwan, dan tiba paling belakangan di Nusantara, yaitu 5.000-4.000 tahun lalu.
Sementara motif K dan M kerap diasosiasikan dengan migran dari Asia daratan, yang datang sesudah migrasi pertama dari Afrika hingga Papua, tetapi sebelum kedatangan penutur Austronesia. Motif K dan M ini masih belum jelas rute migrasinya, tetapi kemungkinan juga lewat jalur darat dari Semenanjung Malaysia melalui Sumatera, Jawa, hingga ke Sumba.
"Temuan ini menunjukkan bahwa orang Sumba saat ini terbentuk dari pembauran genetika tiga populasi berbeda," ujar Herawati. "Artinya, sebelum kedatangan orang Austronesia, telah ada penduduk di Sumba dan kemudian terjadi percampuran."
Menariknya, menurut Lansing, Desa Wunga, yang berada di sisi utara pulau ini, memiliki unsur haplogrup Austronesia paling lengkap dibandingkan dengan desa lain di Sumba. Ini menunjukkan bahwa Wunga memang merupakan desa pertama dari penutur Austronesia di Sumba.
"Semua tipe genetik Austronesia yang ada di desa lain ada di Wunga," ujarnya.
Dengan mencermati pola genetikanya, menurut Herawati, bisa digambarkan perjalanan migrasi nenek moyang penutur Austronesia di Sumba. Dari Wunga sebagian kemudian berjalan ke selatan.Â
Begitu tiba di tengah pulau ini, mereka memisahkan diri dalam dua kelompok besar, satu ke arah timur dan lainnya ke arah barat. Dalam setiap migrasi ini terjadi percampuran dengan non-Austronesia yang telah lebih dulu tinggal di pulau itu.
Pembauran genetik ini juga terlihat dengan adanya penggunaan bahasa Austronesia dan non-Austronesia di Sumba. Contoh kata di Sumba yang berakar pada bahasa Austronesia, misalnya kata "bulu" yang dilafalkan sebagai "wulu" di Mamboru (Sumba Tengah) dan juga di Kodi (Sumba Barat Daya). Kata "mata" juga dilafalkan sebagai "mata", baik di Mamboru maupun Kodi.
Sementara beberapa contoh bahasa non-Austronesia yang bisa dijumpai di Sumba, misalnya kata "daging" yang dilafalkan sebagai "tolu" di Mamboru dan "kabiyo" di Kodi. Â Kata "rambut" di Mamboru dilafalkan sebagai "longgi", sedangkan di Kodi disebut "longge".
Analisis genetika lebih lanjut menggunakan autosomal SNPs oleh Murray Cox dari Institute of Fundamental Sciences, Messey University, Selandia Baru (2015) menemukan dugaan terjadinya percampuran genetika Austronesia dan non-Austronesia yang pertama di Sumba sekitar 4.085 tahun lalu. Seperti analisis marka Y-kromosom, penelitian Cox ini juga menemukan keberagaman genetika Austronesia tertinggi berada di Wunga.
Dua penelitian ilmiah di atas telah menguatkan cerita lisan yang selama ini diturunkan dari generasi ke generasi di Sumba, seperti disebutkan oleh budayawan FWH di atas.***
Sumber:Â
[1] https://sains.kompas.com/read/2016/08/03/16291471/riset.perkuat.kisah.di.sumba.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H