Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

H.A. Van Dop: Orang Belanda yang Berjasa untuk Lagu Gereja Indonesia

20 Agustus 2022   19:46 Diperbarui: 21 Agustus 2022   09:48 1640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
H.A.Van Dop (Foto:Lex)

Bagi masyarakat Kristen Indonesia H.A. Van Dop atau aliasnya H.A. Pandopo  tidak asing. Namanya tercantum dalam Kidung Jemaat (KJ), Pelengkap Kidung Jemaat (PKJ) dan Nyanyikanlah Kidung Baru (NKB). Semua ini adalah buku nyanyian gerejawi di Indonesia, terutama di kalangan gereja Protestan yang menganut teologi arus utama.

Saya membongkar file lama untuk menemukan wawancara dengan ahli musik gereja Harry van Dop (87) ketika ia datang ke Jakarta beberapa tahun lalu dan melakukan edit minor atasnya. Apa yang ia sampaikan masih sangat relevan untuk gereja-gereja di Indonesia hingga sekarang.  

"Lagu ciptaan saya tidak banyak sekali. 500 pun tidak. Saya tidak pernah menghitung. Ada yang ternyata bisa dipakai, ada juga yang tidak. Kita betul-betul harus mempertimbangkan lagu-lagu dengan gaya musik daerah supaya bisa masuk banyak," kata Van Dop. 

 Meskipun demikian, kata dia, tidak semua lagu bisa dimasukkan ke dalam buku nyanyian gereja. Tentu ada syarat-syaratnya.  

"TING (Tim Inti Nyanyian Gereja, sebuah tim beranggotakan ahli teologi dan musik) bekerja terus, mempersiapkan lagu-lagu, meskipun tidak semua sama baik, tetapi kita bisa pilih. Jangan paksakan semua lagu harus masuk. Sebab, kalau semuanya masuk, bukunya akan setebal ini (Van Dop merentangkan kedua tangannya). Karena itu saya juga harus rela kalau sekian lagu ciptaan saya dikeluarkan dari sana," ujarnya.

Setelah bertemu dalam sebuah acara di Graha Bethel Jakarta, Van Dop bersedia untuk sebuah wawancara khusus. Saya  menemuinya di kantor Yayasan Musik Gereja (Yamuger) di kawasan Rawamangun untuk keperluan ini. Yamuger semacam laboratorium untuk menulis, menyanyikan, memeriksa kandungan teologis sebuah lagu gerejawi sebelum dikhalayakkan. Kawan saya Pendeta Weinata Sairin, MTh adalah bagian dari Yamuger, sebagai ahli teologi. Berikut petikannya:

Anda pernah melontarkan soal buku induk  nyanyian gereja. Maksudnya apa?

Supaya dibuat sebuah buku induk yang dipakai semua gereja,  di mana ada lagu-lagu yang mutlak harus masuk, yang semua orang sukai, dari Sabang sampai Merauke. Taruhlah 300-400 nyanyian di dalamnya. Plus, masing-masing kelompok, aliran, daerah, dan sebagainya bisa menambahkan suatu suplemen khusus. Bagus kalau buku suplemen tadi  memperhatikan nasihat-nasihat Yayasan Musik Gereja (Yamuger) dalam menyeleksi dan mencermati isinya. Di setiap gereja dan daerah ada lagu-lagu kesayangan, seperti dari 'Buku Ende' (Tapanuli) dan dari buku 'Dua Sahabat Lama' (Indonesia Timur) yang bagi umat di sana tidak boleh hilang. Maka masing-masing gereja lokal bisa menyeleksi sejumlah nyanyian seperti itu, ditambah dengan lagu-lagu baru yang khas bagi daerah yang bersangkutan. Saya pikir ini salah satu jalan keluar dari pada membuat sebuah buku nyanyian yang sangat tebal.

Apakah KJ, PKJ dan NKB belum mewakili buku induk yang dimaksud?

Belum. Harus banyak yang dibuang, termasuk lagu-lagu dari saya. Biasanya, minimal 30 persen harus dikeluarkan.   Saya juga harus konsekuen untuk membuang lagu-lagu saya yang lama dan kurang bermakna.

Mengapa dibuang?

Sudah tidak cocok dengan jamannya. Tetapi harus cermat.  Saya ambil contoh,  lagu saya Dalam Dunia yang Penuh Kerusuhan. Saya bikin tahun 1980 untuk keperluan Sidang Raya DGI di Tomohon. Lagu ini dimuat dalam KJ No. 260.  Orang tidak menyanyikannya lama sekali. Baru pada tahun 1998, saat kerusuhan terjadi di Indonesia, lagu ini mulai populer.  Artinya, kalau belum atau jarang dinyanyikan bukan berarti lagu itu tidak boleh dimuat.

Kriteria apa yang dipakai untuk menilai dan menyeleksi lagu gereja?

Ya, yang cocok untuk ibadah, yang sifat pokoknya adalah doa.  Dalam sinagoga Yahudi ada 'aron', almari penyimpanan gulungan-gulungan Alkitab (Taurat, Nabi-nabi, Mazmur). Amat sering ada tulisan di atasnya: "Ketahuilah di hadapan Siapa engkau berdiri (atau mengabdi)". Inilah  juga kriteria untuk lagu ibadah gereja; kepada Siapa hendak ditujukan lagu dan musik tersebut? Musik gereja bukan pertunjukan di depan publik orang Kristen, bukan entertainment rohani dari kita dengan kita. Bukan juga pertandingan beberapa paduan suara, melainkan pelayanan, pengabdian di hadapan Tuhan.

Karena itu ekspresi iman boleh ramai, bersorak-sorak, tetapi tidak harus selalu ber-haleluya. Ambil contoh dalam kitab Mazmur. Di sana segala jenis ungkapan hati ada: Keluhan, keragu-raguan, ketakutan, pergumulan, kekecewaan dan kesangsian terhadap Tuhan, tak kurang juga kegembiraan besar. Semua  itu diberi tempat. Mazmur itu jujur. Banyak nyanyian sekarang mengada-ada, membungkus kenyataan dengan manisan sentimental.

 Jadi lagu gereja yang baik seperti apa?

Yang berisi seperti Mazmur, yakni segala ungkapan hati manusia.  Saya kira tidak ada orang yang bersuka ria seperti di dalam Mazmur itu.  Karena dasarnya adalah hubungan antara manusia dan Allah. Bersyukur bukan sekadar karena ingin bersukaria, tetapi itu sebagai pengalaman, penghayatan akan kehadiran Allah dalam kehidupan.  Demikian pula dengan keluhan, tangisan, pertanyaan di manakah Tuhan berada?  Kita harus jujur, bukan?   Di Indonesia ada banyak lagu yang membius diri, yang tak ada hubungannya sama sekali dengan pergumulan sehari-hari jemaat. Jarang yang bicara tentang ketidakadilan, politik dan ekonomi. Tak jarang kita seperti keong di dalam rumahnya. Soal ekologi misalnya, kita sering bernyanyi tentang burung-burung berkicau riang, tetapi kita lupa bahwa burung-burung di Jakarta tercekik lehernya karena gas mobil.

***

Saya bertanya tentang bagaimana nama van Dop bisa berubah menjadi Pandopo?  Menurutnya, orang Indonesia repot  dan sedikit sukar membedakan  huruf  "f" februari dan "v" november. Jadi orang sering salah mengucapkan  namanya menjadi  Pan Dop.

"Pada tahun 1975 saya ubah sedikit menjadi Pandopo. Tidak jelek sekali dibandingkan kalau orang bilang Pan Dop. Nanti dipikir dop mobil, hehehe," ia tertawa.

Selaku pengarang lagu, kata dia, Pandopo sebenarnya nama samaran saja. Tetapi gara-gara namanya disingkat menjadi H.A. Pandopo, orang-orang menyangka itu singkatan dari Haji Agus Pandopo.  

"Atau orang Bugis bilang Haji Andi Pandopo, hahaha."

 

Apa hambatan lagu-lagu gereja di Indonesia?

Banjirnya lagu-lagu gereja, sampai meluap-luap dalam bentuk buku dan CD. Sementara fungsinya tidak terlalu jelas antara lagu ibadah dan lagu rohani umum. Secara tematik juga agak sering terlalu umum, kurang spesifik: ada lagu pujian, ada yang memohon bimbingan Tuhan, ada yang berserah begitu saja. Di manakah  relasinya dengan konteks hidup yang konkrit? Apa yang dikatakan lagu gereja terhadap kerusakan ekologi, tentang masyarakat, tentang politik dan sebagainya? Soal lain lagi adalah kurangnya masukan bagi para pengarang syair dari tanggapan teologis terhadap kenyataan sehari-hari. Lagu-lagu gereja kita belum kontekstual. Lagu-lagu sekarang (kebanyakan) sangat terpengaruh oleh arus media massa, jadi tidak nyambung dengan tradisi-tradisi dan konteks di mana kita berada, dengan segala tantangannya.

Sebenarnya apa cita-cita  Anda terhadap musik dan lagu gereja di Indonesia? 

Saya pingin sekali agar kekayaan syair (teks dan lagu) dari tradisi-tradisi kebudayaan di Indonesia dapat dipelajari dengan seriusnya bersama para ahli etnomusikologi. Bagaimana kekayaan syair itu bisa dikembangkan lebih lanjut, antara lain demi kepentingan nyanyian gereja.  Misalnya mencari  bentuk-bentuk lagu daerah yang dipakai untuk menyampaikan cerita (oleh penyanyi tunggal) yang disambut oleh hadirin dengan refrain singkat yang tetap. Bisa di alam terbuka atau dalam pendopo dan ruangan lain, tanpa atau dengan pengiringan instrumental.  Hadirin tidak perlu memakai not-not, tinggal meniru refrain singkat yang pada mulanya dilagukan oleh solis atau pemimpin nyanyian yang ahli. Cara ini membuka kemungkinan-kemungkinan baru menyanyikan mazmur dan nyanyian Alkitabiah lainnya serta cerita-cerita Alkitab dan cerita lain, doa-doa litani, unsur-unsur liturgi, improvisasi kesaksian dan pesan aktual.

***

Pandopo bercerita tentang kebiasaan menyambut tamu dengan cara bernyanyi atau bersyair dalam banyak kebudayaan daerah di Indonesia.  Menurut dia, kebiasaan itu bisa dipakai gereja dalam melagukan Kitab Mazmur misalnya, dengan iringan alat musik tradisional maupun modern.

"Kita bisa bereksperimen dengan alat-alat musik, baik tradisional kedaerahan seperti tifa, gendang, rebana, gamelan, suling, kecapi, serunai, maupun yang modern seperti piano, biola, cello, suling, gitar, trompet, hobo, klarinet dan lain-lain," kata Pandopo.

Selain itu menurut dia, pendidikan kader komponis yang mengenal musik daerah serta instrumentasinya dan segala kemungkinan modern untuk mengarang lagu-lagu gereja masa kini seperti nyanyian jemaat, solis dan paduan suara, mazmur berbalas-balasan, doa-doa. Tetapi, kata dia, lagu-lagu daerah sebaiknya jangan dulu langsung dipakai untuk kata-kata gerejawi (kontrafakt), apalagi kalau konotasinya tidak pas.  Kalau suasana sesuai, mungkin bisa, misalnya lagu cinta untuk Kidung Agung; lagu nina bobo untuk bayi Musa di peti pandan; lagu tanam padi untuk pekabaran Injil.

Unsur apa yang tidak boleh dimasukkan dalam lagu gereja?

Tentunya unsur-unsur jahat. Tetapi ingat yang jahat itu bercokol dalam hati manusia, bukan dalam alat musik tertentu atau gaya tradisi kebudayaan. Tentunya yang perlu dihindari ialah unsur-unsur yang berkonotasi negatif atau dangkal pengertiannya. Pokoknya,  kontrafakt hanya dapat dipakai apabila bentuknya mendukung makna isinya.

Bagaimana dengan lagu pop rohani?

Mengapa tidak? Segala bentuk musik bisa bermutu atau tidak bermutu. Lagu dari The Beatles, Yesterday, bukan lagu rohani Kristen, tetapi bermutu tinggi dan berekspresi kuat.  Bukan "pop"nya yang jadi masalah, melainkan orang yang membawakannya: Maunya apa sebenarnya? Memperlihatkan kebolehannya dengan permainan yang piawai, meskipun tidak jarang juga sama sekali tidak piawai, dengan kata-kata yang gampangan? Saya dapat membayangkan suatu ibadah yang keseluruhannya bersifat pop, dari bahasa pendeta sampai penampilan paduan suara dan perhiasan dinding,  yang tetap komunikatif rohani.

Apa motivasi Anda menggeluti lagu dan musik gereja?

Nyanyian sangat penting bagi manusia, juga bagi manusia yang beribadah, tetapi dalam pendidikan teologi amat diabaikan. Para pendeta tidak tahu tentang hymnologi yakni pengetahuan mengenai nyanyian gereja sepanjang segala abad dan seluas dunia. Karena itu perlu ditangani. Akhirnya Gerejalah yang menjadi passion saya. Dan saya selalu merasa kurang mengabdi dalam hubungan itu.

***

Usai wawancara saya memotretnya dalam beberapa posisi. Van Dop minta beberapa dikirim kepadanya lewat email.

"Saya sedang mengumpulkan foto yang  saya simpan dalam satu map di Belanda. Saya berpesan pada keluarga, kalau terjadi apa-apa dengan saya, mereka tinggal ambil saja itu map. Semua sudah lengkap di situ, hehehe," van Dop tertawa. 

Riwayat Hidup

Nama : Hermanus Arie ('Harry') van Dop

Tempat/tanggal  lahir:  Utrecht, Belanda, 28 Mei 1935.

  • Pendidikan:
  • Belajar orgel  gereja sejak umur 7 tahun dari Trudis Tulp di Voorthuizen.
  • Sementara belajar di sekolah menengah memperoleh pengetahuan musik (teori dan praktek) dari Klaas Bartlema, musikolog      di  kalangan radio Hilversum.
  • Studi teologi pada Universitas Utrecht, dilanjutkan dengan program Sekolah Tinggi Missiologi di Oegstgeest (a.l. mulai mempelajari  musik daerah Makassar-Bugis)
  • Pada tahun 1967 diteguhkan dalam jabatan pelayan firman missioner dan diutus oleh Dewan Pekabaran Injil  dari Nederlands Hervormde Kerk kepada Gereja Kristen di Sulawesi Selatan (pembinaan warga gereja) -- tinggal di Malino dan Makassar.
  • Tahun 1972 pindah ke Jakarta menjadi pendeta di GPIB yang memperbantukannya kepada Yayasan Musik Gereja (turut menyusun  buku-buku nyanyian) dan kepada Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (liturgi, hymnologi dan musik gereja).
  • Pernah juga menjadi dosen pada Institut Kesenian Jakarta  (agama dan ilmu harmoni) dan pada Sekolah Tinggi Teologi di Cipanas (musik gereja dan kateketik).
  • Tahun 2004 pulang ke Belanda, menjadi pendeta emeritus dari Protestantse Kerk in Nederland (persatuan tiga gereja protestan).
  • Sejak tahun itu sudah delapan kali berkunjung ke Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun