Setelah sekolah dan rumah warga, terdapat  hamparan tanah kosong. Ilalang setinggi pinggang orang dewasa bertumbuh subur. Melewatinya kita akan menjumpai rumah-rumah warga yang lain. Yakni honai. Rumah khas warga di Papua. Dan sebuah gereja di ujungnya pada ketinggian.
 Tampaknya gereja sengaja dibangun pada ketinggian tanah itu. Ia mudah dilihat dari jalan raya. Ketika beberapa kali saya lewat lagi di sana, pada tahun yang berbeda, saya masih ingat persis gereja itu.
Itulah Gereja Kemah Injil (Kingmi) Air Garam. Kingmi salah satu denominasi Protestan dengan jumlah anggota jemaat yang besar di Papua, setelah GKI Tanah Papua. Â Anggota jemaatnya hampir mencapai satu juta jiwa. Oleh karena jumlah yang besar ini, Gereja Kingmi cukup punya pengaruh dalam dinamika politik lokal di Papua. Ini menyangkut suara dalam pemilu, kawan!
Halaman gereja seukuran separuh lapangan bola. Rumputnya dipangkas rapi. Tanaman pisang dan buah merah bertumbuh subur di sampingnya. Dua pokok cemara menjulang di depan. Bikin rimbun halaman gereja. Sejuk.
Di bawah rimbun cemara itu, di depan gereja Kingmi itu, Yali dan Wulep telah menanti.
***
Dua jamban itu hanya berjarak 50 meter dari gereja. Dinding dan atapnya dari seng. Â Bangunan biasa saja jamban-jamban itu. Kecuali sejarah pendiriannya.
Itulah jamban pertama di Manda dan Air Garam. Yang menjadi jamban percontohan. Lembaga kemanusiaan Wahana Visi Indonesia (WVI) berperan besar dalam hal ini.
Selain warga, jemaat yang datang beribadah pada hari Minggu boleh memakai dua jamban itu. Tersedia jerigen berisi air di depan. Digantung pada tuas kayu. Seutas tali menjulur ke bawah. Ketika tali diinjak, mulut jeriken akan miring, menuangkan air ke tangan Anda. Ada sabun di situ. Silakan cuci tangan setelah buang air besar.
 Di seberang jamban adalah honai. Milik Yali dan keluarganya.