Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Perjanjian Pranikah untuk Melindungi yang Lemah

14 Agustus 2022   09:20 Diperbarui: 21 Agustus 2022   20:15 809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pernikahan. (sumber: porstooleh/ Freepik via kompas.com) 

Kami sudah menikah 23 tahun. Secara Katolik. Juga disahkan di Kantor Catatan Sipil, sebagai warga negara Indonesia. 

Hukum gereja dan hukum negara berjalan seiring. Tanpa ada perjanjian pranikah. Kecuali komitmen bersama untuk menjaga "apa yang telah disatukan oleh Allah, tak boleh diceraikan manusia".

Negara Indonesia mengenal hukum Perjanjian Pra Nikah seperti diatur dalam ketentuan Pasal 29 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan:

"Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut."

Tafsir saya, barangkali karena negara memahami bahwa pasangan yang akan menikah tidak tahu apa yang akan terjadi kela.

Maka, perlu diantisipasi, terutama tentang pemisahan harta, utang, warisan yang dibawa masing-masing pasangan sebelum menikah, dan harta yang diperoleh dalam perjalanan bersama sebagai pasangan suami-istri. 

Negara menjamin hal ini, meskipun setiap pasangan bebas memilih apakah memakainya atau tidak.

Setiap pasangan yang memilih menikah, pada mulanya dan juga sepanjang perjalanan kehidupan perkawinan itu, pasti berupaya maksimal agar langgeng sampai maut memisahkan mereka. Intensi awalnya adalah berdua membangun rumah tangga, dan kelak jika dikaruniai anak-anak, berupaya mendidik mereka sebagai anak yang berbakti kepada agama, nusa dan bangsa. Tak ada seorang pun yang merencanakan perceraian. Kita bisa merencanakan titik berangkatnya, tapi tak pernah tahu titik akhirnya kapan dan di mana. Perkawinan barangkali seperti juga kematian.

Saya pernah mendapat curhat teman yang akan bercerai. Yang ia tanyakan pertama, apakah boleh bercerai padahal mereka menikah secara Katolik? 

Sumber:futuretimeline 
Sumber:futuretimeline 

Perkawinan Katolik tidak mengenal perceraian, kecuali oleh beberapa sebab yang  tidak diketahui sebelum pernikahan (misalnya impotensi dan sakit jiwa), dan peristiwa luar biasa yang terjadi setelah itu.

"Alasanmu apa?" tanya saya?

"KDRT," jawabnya.

"Ada bukti-bukti?"

"Ada, dan sudah dilaporkan kepada polisi."

Dalam kasus KDRT, akhir-akhir ini Gereja Katolik menyetujui perceraian, tetapi setelah diteliti secara sangat cermat oleh "hakim" tribunal gereja dalam waktu yang panjang, minimal setahun. 

Dengan upaya pertama, merujukkan mereka kembali. Tetapi jika hal itu terus berulang, perkawinan itu bisa diceraikan, dan pasangan yang bercerai boleh menikah lagi secara Katolik. Pengalaman ini saya dapatkan di Yogyakarta pada tahun 2005.

"Sayang, kami tidak punya perjanjian pra nikah," kata dia.

Dalam konteks ini perempuan menjadi korban.

Tidak sekali itu saja saya menemukan perceraian dalam kasus KDRT. Dan kebanyakan perempuan yang menjadi korbannya. 

Dan biasanya jika sudah demikian, jika dimintai pendapat, saya menganjurkan untuk bercerai. Dengan prinsip, kesucian tubuh manusia jangan pernah dirusak oleh kekerasan, dan lembaga perkawinan tidak menjadi alasan untuk bertahan.

Dengan pengalaman-pengalaman di atas, bertambah satu lagi yang saya anjurkan untuk perkawinan bagi teman-teman yang Katolik, yakni silahkan membuat perjanjian pranikah, sebagai langkah untuk berjaga-jaga, terutama bagi mereka yang berasal dari keluarga kaya.  Saya menyimpulkan, perjanjian pranikah ini baik untuk melindungi mereka yang berada pada posisi lemah dalam hubungan itu.

Satu hal yang tidak pernah saya jawab, adalah ketika seseorang meminta pendapat, apakah boleh menikah atau tidak? Juga kelak kepada anak-anak saya. Silahkan memutuskan sendiri dengan melihat ayah-ibunya, dan lingkungan sekitar mereka.

Sebab perkawinan bukan surga semuanya, namun tidak juga neraka seluruhnya!

Ada upaya terus-menerus antara dua kepala yang berbeda itu, untuk tetap sepakat untuk melangkah sejauh mungkin, dan semoga hanya maut yang bisa memisahkan! 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun