Perkawinan Katolik tidak mengenal perceraian, kecuali oleh beberapa sebab yang  tidak diketahui sebelum pernikahan (misalnya impotensi dan sakit jiwa), dan peristiwa luar biasa yang terjadi setelah itu.
"Alasanmu apa?" tanya saya?
"KDRT," jawabnya.
"Ada bukti-bukti?"
"Ada, dan sudah dilaporkan kepada polisi."
Dalam kasus KDRT, akhir-akhir ini Gereja Katolik menyetujui perceraian, tetapi setelah diteliti secara sangat cermat oleh "hakim" tribunal gereja dalam waktu yang panjang, minimal setahun.Â
Dengan upaya pertama, merujukkan mereka kembali. Tetapi jika hal itu terus berulang, perkawinan itu bisa diceraikan, dan pasangan yang bercerai boleh menikah lagi secara Katolik. Pengalaman ini saya dapatkan di Yogyakarta pada tahun 2005.
"Sayang, kami tidak punya perjanjian pra nikah," kata dia.
Dalam konteks ini perempuan menjadi korban.
Tidak sekali itu saja saya menemukan perceraian dalam kasus KDRT. Dan kebanyakan perempuan yang menjadi korbannya.Â
Dan biasanya jika sudah demikian, jika dimintai pendapat, saya menganjurkan untuk bercerai. Dengan prinsip, kesucian tubuh manusia jangan pernah dirusak oleh kekerasan, dan lembaga perkawinan tidak menjadi alasan untuk bertahan.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!