Rujukan lain adalah laporan dari Studi Mortalitas Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Mereka melansir, 49 persen kematian bayi disebabkan oleh pneumonia atau infeksi paru-paru dan 22 persen karena diare.
Kebiasaan tinggal dalam honai yang tidak memiliki sirkulasi udara menjadi salah satu penyebab bayi atau bahkan orang dewasa terserang pneumonia.
Yusuf sendiri mengalaminya. Nafasnya kerap terasa sesak. Dadanya sakit. Semenjak kanak-kanak hingga remaja, ia sering terkena batuk, flu dan diare. Beruntung ia berada di Wamena kala itu. Ia tertolong oleh obat-obatan yang tersedia.
"Kami hidup di dalam honai yang selalu ada api menyala karena hawa di Pegunungan Tengah cukup dingin. Jadi asapnya terhirup terus-menerus. Kalau mencret karena buang air besar di sembarang tempat dan kebersihan yang kurang. Dulu kami tidak punya jamban," kata Yusup.
Kondisi di atas diperburuk oleh akses layanan kesehatan yang tidak bisa menjangkau daerah-daerah karena terpencil. Kondisi alam Kabupaten Jayawijaya yang diliputi gunung-gunung dan lembah membuat warga jauh dari puskesmas. Tenaga kesehatan sukar menjangkau daerah-daerah ini.
Kader MTBSM diambil dari masyarakat setempat, seperti Yusuf dari Kampung Popukoba. Mereka dipilih dan dilatih oleh dinas kesehatan. Tugas WVI adalah melatih mereka lagi dan melakukan pengawasan. Penyegaran dilakukan satu atau dua bulan sekali secara kontinyu.
Karena itu Yusup sering diundang mengikuti pelatihan tentang pencegahan diare, batuk dan demam pada balita. Ia juga belajar mengenal tanda-tanda bahaya pada balita yang harus segera dirujuk ke rumah sakit.
Setelah dilatih, para kader inilah yang menyampaikan kepada masyarakat di kampung mereka tentang pentingnya mengenali tanda kesakitan dini terhadap balita dan ibu hamil. Mereka pula yang memberi contoh tentang hidup sehat dan makanan bergizi.
"Misalnya ada bayi yang tidak mau menyusui atau tali pusarnya bernanah dan merah, itu artinya harus segera dirujuk ke Puskesmas. Juga yang setiap kali makan terus muntah-muntah, harus segera dibawa ke Puskesmas. Saya juga membuka kebun gizi untuk memberi contoh kepada masyarakat di kampung," kata Yusup.
Mendampingi Penderita HIV dan TB
Kini Yusup juga mendampingi para penderita HIV-AIDS dan pasien tubercolosis. Dalam nokennya ada sebuah buku kecil berisi nama, nomer registrasi dan nomer handphone serta tanggal pasien menerima obat.
"Ada 50 orang yang positif HIV dan AIDS yang saya dampingi. Dua puluh tiga saya kunjungi secara rutin karena mereka minum ARV dan tinggal di sekitar Wamena. Sisanya ada di tempat-tempat lain seperti di Yalimo, Membramo Tengah, dan Tolikara. Saya telepon mereka untuk pantau kondisinya," kata Yusup. Tiga daerah ini adalah kabupaten lain yang berjarak 5-6 jam perjalanan dengan mobil dari Wamena.